nusabali

Pantang Mengaku Pintar, Percaya Seni Topeng Berregenerasi

I Ketut 'Jaek' Mudita, Seniman Pemahat dari Singapadu Tengah, Sukawati

  • www.nusabali.com-pantang-mengaku-pintar-percaya-seni-topeng-berregenerasi

GIANYAR, NusaBali - I Ketut Mudita, seorang seniman pemahat topeng yang berpegang pada tutur anak lingsir; de ngaden awak bisa, depang anake ngadanin (jangan mengklaim diri pintar, biarkan orang menilai).

Karena itu seniman yang  nama panggilannya I Ketut Jaek ini pantang  mengaku  pintar dalam  berkesenian. Khususnya seni memahat topeng. Sebaliknya  seniman kelahiran 8 April 1972 ini memilih rendah hati, mengatakan diri masih perlu banyak belajar. Sehingga dia pun mengaku terus belajar, walaupun sudah  mengenal seni pahat- memahat topeng sejak masih belia. 

Ketut Jaek menuturkan belajar memahat topeng sejak kelas IV  SD. “Karena memang tertarik  dengan topeng,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya di Banjar Abasan, Desa Singapadu Tengah, Sabtu (26/2). 

“Tiyang  berguru pada  Bapa Wayan Tangguh ,” ungkap  Tut Jaek, menyebut nama I Wayan Tangguh, salah seorang seniman /pemahat kondang dari  Desa Singapadu. Selain itu Ketut Jaek  juga belajar  memahat topeng di Puri Singapadu, dari Cokorda Raka Tisnu yang juga seorang seniman topeng/barong  kondang. 

Proses belajar memahat topeng yang dilakoni Ketut Jaek, mulai dari pelajaran  dasar dengan  belajar ngamplasan (menghaluskan). Lumayan lama, selama setahun. Karena memang senang,  Jaek mengaku tidak jemu atau  bosan walau pun kegiatannya rutin hanya ngamplasan saja selama setahun. 

“Karena   senang,  tiyang tidak bosan,” ucap anak bungsu pasutri I Nyoman Tegeg dengan Ni Wayan Rawi. Di sela-sela ngamplasan  Jaek dilatih  nguyeg (menghaluskan  cat atau warna tradisional). Dituturkan nguyeg warna merupakan ketrampilan yang juga tak bisa diabaikan  seorang sangging(seniman)  pahat.  

Untuk diketahui nguyeg cat bahan cat tradisional bukan perkara sepele. Itu karena memang bahan cat alam, tentu berbeda dengan cat yang sudah jadi produksi pabrikan.

Takaran, komposisi, kehalusan akan sangat menentukan keberhasilan dan kualitas pemulasan (pengecatan). “Semua harus pas komposisinya. Bila  tidak , pengecatan gagal seperti  cat terkelupas,” ungkap suami dari Ni Nyoman Murdi, Tidak hanya itu,  sekali ditakar dan diuyeg (ayak) harus habis pakai. Tidak boleh ada sisa. Hal itu karena sifat warna  tradisional yang alami. “Kalau sisa tak bisa dipakai lagi,” ujarnya.

Adapun  bahan- bahan cat tradisional  diantaranya   tanduk menjangan atau tulang batok celeng yang dibakar, mangsi atau jelaga, kencu ( dari sejenis batu), atal, delega. Nama-nama bahan- bahan warna alam tersebut untuk  cat warna putih, kuning,hitam, merah dan warna lainnya. Sedang untuk  perekat dicampur dengan  sumsum tulang ikan atau susu sapi. “Itulah tiyang pelajari,” kenang ayah dari  I Wayan Gede Merta Junedi dan I Kadek Medi Dwipayana. 

Menyusul  ‘pelajaran’ dasar,  Jaek  belajar menatah kulit, membuat pola, merangkai bulu untuk barong dan seterusnya kemudian belajar memahat setelah masuk di SMA.  Topeng pertama  karyanya adalah topeng bondres. Kemudian topeng telek, tapel dalem (raja). Berlanjut belajar   memahat topeng rangda,  topeng  sidhakarya sampai segala macam  topeng barong. Mulai dari barong ket, barong bangkal, macan dan  jenis barong yang lain. 

Dari semua ketrampilan tersebut Ketut Jaek  merakit  barong komplit. 

Kata dia semua itu merupakan buah dari pelajaran yang dia terima dari para seniman senior. 

Selain itu Ketut Jaek, juga banyak menimba ilmu atau berguru  dari masyarakat. “Misalnya saat ngayah ngodakin atau nangiang barong, sering ada masukan maupun saran, ‘genikan sedikit’ atau ‘tambahkan ini’,” ujarnya menirukan saran yang kerap diterima.  Semua itu kata dia merupakan ‘guru’ juga dari masyarakat. “Masyarakat  merupakan tempat belajar terus menerus,” ujarnya.

Sebagai seniman Bali  berkarya membuat    tapel atau topeng, baik permintaan masyarakat atau orang banyak maupun  perseorangan, adalah  bagian dari ngayah. Tidak hanya ngayah sakala, tetapi juga ngayah untuk niskala. “Itu prinsip  prinsip tiyang,”  ujarnya.

Di rumahnya di Banjar Abasan, Desa Singapadu Tengah, Sukawati, sering orang datang untuk kepentingan terkait topeng. Ada yang datang  mewakili  masyarakat, ada yang  meminta dibuatkan  topeng untuk keperluan pribadi.  Banyak yang datang. Ada minta tapel sidakarya, barong dan  maupun yang lain. “ Ini bagian dari ngayah (yadnya),”  ucapnya. Dan   Ketut ‘Jaek’ Wijaya optimis, seni topeng tetap lestari. “Karena regenerasi berlanjut,” ujar dia menyebutkan anak-anaknya yang juga suka dengan seni memahat topeng. 7 k17

Komentar