nusabali

Orang Bali Terlalu Religius?

  • www.nusabali.com-orang-bali-terlalu-religius

Trio Bimbo, kelompok musik dari Bandung, di tahun 70-an populer dengan salah satu lagu berjudul “Tuhan”: Tuhan tempat aku berteduh, dimana aku mengeluh/ dengan segala keluh// Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa/ tempat aku memuja/ dengan segala doa// Aku jauh Engkau jauh// Aku dekat Engkau dekat/ Hati adalah cermin/ Tempat pahala dan dosa bertarung.

Romo YB Mangunwijaya menyebut lagu gubahan Sam Bimbo itu sebagai satu contoh tembang yang bermuatan religiusitas kuat. Lagu itu bisa dinikmati oleh siapa saja, untuk membangun rasa khusyuk. Itulah lagu yang tidak membedakan umat berasal dari agama mana pun. Seorang muslim, nasrani, atau pemeluk Hindu, atau seorang ateis, bisa tepekur ketika mendengar lagu “Tuhan”. 

Umat Hindu membutuhkan alunan kidung dan mantra untuk membangun suasana religius. Religius bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang bersifat keagamaan, atau segala yang bersangkut paut dengan religi. Untuk membangun suasana religius, Bali memiliki banyak keunikan. Karena unik, acap kali menjadi aneh bagi mereka yang belum “dekat” dengan Bali.

Bali dikenal sebagai pulau religius. Orang Bali bangga disebut sebagai orang-orang religius. Mereka berusaha terus menerus untuk mempertahankan predikat hebat itu, dengan berupaya terus mendekatkan diri dengan Hyang Widhi, berurusan dengan yang serba suci. Untuk itu mereka giat di pura, tiada putus-putus melaksanakan upacara keagamaan. Bagi orang Bali, tindakan untuk menciptakan suasana religius harus dicapai dengan berupacara.

Upacara keagamaan harus dilakukan dengan serius. Makin banyak pernik dalam upacara, makin religius jadinya. Makin rumit, kian panjang, semakin menjelimet, proses upacara keagamaan, itu artinya semakin religius, kian dekat dengan religi. Mereka yang tidak senang melaksanakan upacara keagamaan dianggap tidak religius, bahkan bisa dituding tidak becus beragama.

Apakah suasana religius hanya bisa dibangun dengan upacara keagamaan? Apakah hanya bisa diperoleh di tempat suci? Seseorang pendaki gunung, ketika berdiri di puncak, mengaku merasakan suasana sungguh-sungguh religius. Banyak orang mengaku merasakan kekhusyukan dan suasana religius ketika menatap matahari terbit di Pegunungan Tengger, Jawa Timur. Bagi orang-orang tertentu, suasana religius justru tiba-tiba bisa hadir di tempat-tempat sekuler, jauh dari atribut spiritual.

Orang Bali, karena saban hari bergiat dalam kegiatan keagamaan, sering disebut sebagai umat yang terlalu religius. Mereka bekerja mencari nafkah, agar bisa melakukan kegiatan religius. Saban hari sesaji dihaturkan di pekarangan, untuk memetik saat-saat religius. Karena begitu religiusnya orang Bali, mereka kemudian dekat dengan segala hal yang berkaitan dengan spiritualitas. Tidak sulit mengajak orang Bali bermeditasi, karena merenung, tepekur, dinilai sebagai kegiatan untuk menimba suasana religius. 

Banyak orang Bali masumpang (menyelipkan kembang di telinga), dahi berisi bija (beras suci), saban berangkat kerja ke kantor, agar terus menerus merasakan dan "memancarkan" suasana religius.

Orang terlalu religius bisa jadi mengabaikan masalah keduniawian. Menghaturkan sesaji menjadi lebih penting tinimbang bersedekah untuk orang miskin. Orang hanya sudi menolong teman, kerabat, jika berkaitan dengan upacara keagamaan. Di Bali, kegiatan matetulung atau ngoopin (tolong menolong) lebih banyak diartikan membantu tetangga, rekan, yang sedang punya hajatan. Jarang yang mengartikan matetulung untuk menolong orang lain yang sedang kesusahan karena tidak mampu meneruskan sekolah, kesulitan ekonomi, atau sakit.

Di Bali, religius jauh lebih penting tinimbang religiositas. Religiositas bisa diartikan sebagai ketakwaan, tindakan untuk menjaga agar seseorang selalu berada dalam ajaran Tuhan. Religiositas bermakna sebagai kesalehan hidup, pekerti yang selalu patuh pada jalan kuasa Hyang Widhi. Religiositas tidak selalu harus berhubungan dengan yang serba religius. Tidak mesti berhubungan dengan sesaji, upacara, mantra. 

Religiusitas itu universal, tidak membeda-bedakan. Di tengah kegigihan orang Bali membangun suasana religius, patut juga diupayakan religiositas itu. Pendekatan religiositas bisa menjadikan seseorang menjalankan ajaran Tuhan tanpa harus melayang-layang ke alam niskala (tak tampak, tetapi ada), namun mengajak manusia untuk saleh, arif, di alam nyata. Dengan begitu, orang akan semakin sering tertarik mengurus masalah keduniawian, tidak melulu persoalan rohani, tapi juga masalah fisik. 7

Komentar