nusabali

Diperkirakan Berusia 100 Tahun Lebih, Tetap Bersemangat Tarikan Berko

Maestro Penari Berko Ni Ketut Nepa, Kesenian Langka dari Jembrana

  • www.nusabali.com-diperkirakan-berusia-100-tahun-lebih-tetap-bersemangat-tarikan-berko

Setelah mengikuti PKB pada tahun 2011 lalu, kesenian Berko yang sudah berulang kali berusaha dibangkitkan ini, lagi-lagi vakum karena penarinya menikah.

NEGARA, NusaBali

Kesenian Berko merupakan salah satu kesenian hiburan khas Kabupaten Jembrana. Kesenian tradisional yang ada di Tempek Munduk Jati, Lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, Jembrana ini, diperkirakan muncul sekitar tahun 1925-an. Kesenian tradisional dengan memadukan gambelan, tarian serta kakidungan (tembang tradisional Bali) ini, sempat menjadi salah satu kesenian yang berjaya di Jembrana pada sekitar tahun 1930-an hingga sekitar tahun 1970-an.

Salah satu maestro penari Berko yang kini menjadi satu-satunya saksi hidup masa kejayaan kesenian Berko itu, ialah Ni Ketut Nepa. Nepa yang tinggal bersama anak ketiganya I Nyoman Sila, 65, di daerah pedusunan Lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem ini, diperkirakan sudah berusia 100 tahun lebih.

Di KTP Ni Ketut Nepa tercatat kelahiran 31 Desember tahun 1931 (Usia 90 tahun). Tetapi dari versi penuturan Ni Ketut Nepa, dirinya sudah menjadi penari Berko sejak awal kemunculan kesenian itu sekitar tahun 1925, saat dirinya berusia sekitar 15 tahun. Berdasarkan penuturannya itu, Nepa diperkirakan berusia 112 tahun.

"Dulu (mulai) nari sejak ada Berko. Sekitar tahun 1925. Saat masih usia sekitar 15 tahun," ujar Nepa saat ditemui di kediamannya, Jumat (28/1). Di usianya yang sudah begitu senja, Nepa yang juga biasa dipanggil Dadong Barak ini, tergolong masih memiliki ingatan yang cukup tajam. Meski untuk bicara sudah agak ngos-ngosan, Nepa tampak begitu semangat ketika diajak ngobrol tentang Berko.

Termasuk ketika disinggung apakah masih ingat bagaimana tarian Berko, Nepa yang tubuhnya sudah begitu ringkih ini, tampak energik untuk langsung mempraktekkan tarian Berko di halaman rumahnya. Melanjutkan cerita tentang kesenian Berko, Nepa mengatakan jika kesenian Berko mengalami masa jaya sejak tahun 1930-an. Saat masa kejayaan itu, kesenian Berko yang awalnya diciptakan sebagai hiburan untuk warga bekerja di sawah ini, sering diundang keliling memberikan hiburan ke sejumlah desa di Jembrana.

"Biasa tampil di halaman terbuka. Biasanya juga pentas sampai malam. (Saat pentas malam) Biasa pakai damar sentir dan obor," kenang Nepa yang saat ini tinggal bersama anak ketiganya, I Nyoman Sila, 66. Nepa yang memiliki 12 anak dengan 13 cucu dan 5 cicit ini, dulunya juga biasa pentas bersama suaminya I Nengah Tuntun (almarhum) yang sebelumnya juga menjadi salah satu penabuh kesenian Berko. Di samping keliling memberikan hiburan ke desa-desa, pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai tahun 1945, kesenian Berko juga sering diundang untuk mengisi acara hiburan oleh pihak Jepang.

"Orang Jepang juga suka. Dulu jadi penari berdua. Saya sama Ni Ketut Sawit (alamarhum)," ucap Nepa. Dalam memberikan hiburan kala itu, Nepa mengaku, tidak ada memikirkan soal imbalan. Dirinya sebagai penari Berko kala itu, tidak pernah dibayar. Jangankan imbalan berupa uang. Untuk imbalan berupa makan saja tidak ada. Kalaupun ada yang memberikan imbalan, biasanya hanya berupa beras ataupun hasil bumi. "Karena suka saja. Tidak pernah berpikir dapat upah. Yang penting bisa menghibur saja sudah senang," ujar Nepa yang juga tidak pernah sekolah ini.

Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, sambung Nepa, dirinya dulu bekerja seabutan. Terutama menjadi pedagang keliling. Selain menjual kayu bakar, dirinya biasa menjual ikan, buah, dan sayur dengan berkeliling di daerahnya hingga ke desa sebelah. “Dulu apapun pekerjaan saya ambil. Karena di desa jauh dari laut, ikan yang paling laku. Habis keliling jualan, mulai sore baru menghibur," kenang Nepa yang saat ini juga mengaku masih biasa mencari kayu bakar.

Dulunya, sambung Nepa, ada sekitar 60 personel yang tergabung dalam Sekaa Berko Dewasana. Saat masa kejayaan kesenian Berko yang sempat berlangsung hingga tahun 1970-an, puluhan personel itu biasa keliling memberikan hiburan dengan berjalan kaki dari satu desa ke desa lain. Namun saat ini, dari puluhan personel kesenian Berko kala itu, hanya tinggal dirinya saja yang masih hidup.

Menurut Nepa, kelamnya kesenian Berko pada sekitar tahun 1970-an, diperkirakan karena zaman yang sudah berubah. Namun, dirinya sangat berharap kesenian Berko tetap lestari.  "Kalau bisa tetap ada Berko. Kasian kalau ditinggalkan," rintih Nepa.

Sementara anak dari Nepa, I Nyoman Sila, 66, mengatakan, seingatnya selama ini belum ada pengahargaan yang digenggam ibunya maupun almarhum ayahnya yang dulu juga merupakan penabuh kesenian Berko. Dengan keadaan dirinya yang juga tergolong kurang mampu, dirinya hanya bisa merawat sang Ibu dengan semampunya.

Selama ini, Sila mengatakan, belum pernah ada perhatian khusus dari pemerintah yang diberikan kepada ibunya. Dirinya juga merasa malu kalau sampai mengajukan diri karena dirasa masih banyak yang lebih membutuhkan dan mungkin aparat terkait juga lebih tahu mana yang membutuhkan. "Sebenarnya kita juga berharap ada perhatian yang bisa dirasakan seniman sepuh. Seperti ibu saya ini. Soalnya kalau ibu saya sakit (karena faktor usia), saya juga sering kebingungan karena kondisi saya juga pas-pasan," ucap Sila.

Untuk diketahui dari keterangan yang sempat dihimpun NusaBali dari salah satu tokoh di Dewasana, I Nyoman Kayun, kesenian Berko yang sempat berjaya pada sekitar tahun 1930-an hingga sekitar tahun 1970-an itu, sebelumnya sempat berusaha dibangkitkan kembali di Tempek Munduk Jati, Lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem, pada sekitar tahun 1980-an. Namun tidak berlangsung lama, kesenian langka itu kembali redup karena kurangnya perhatian dari Pemerintah.

Kemudian sekitar tahun 1990-an saat masa mantan Bupati Jembrana Ida Bagus Indugosa, kesenian langka ini pun sempat berusaha kembali dibangkitkan untuk kedua kalinya dengan gerbong personel yang sudah sempat terregenerasi. Sewaktu memasuki masa kebangkitan yang kedua kalinya itu, kesenian Berko sempat dijadikan hiburan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan di Pemkab Jembrana dan dibawa sebagai duta Jembrana dalam Pesta Kesenian Bali tahun 1997.

Tetapi ketika memasuki masa jaya itu, kesenian Berko kembali vakum karena terkendala para penari yang telah menikah. Tetapi masa vakum itu tidak berlangsung lama, dan kesenian Berko sempat kembali dibangkitkan untuk ketiga kalinya pada tahun 2002 dengan mencari dua penari baru. Kedua penari yang digunakan waktu memasuki zaman mantan Bupati Jembrana I Gede Winasa waktu itu, tidak lain merupakan kedua orang putri Nyoman Kayun atau cucu dari Ni Ketut Nepa, yakni Ni Made Budiani, dan Ni Ketut Suartini.

Hanya saja setelah sempat mengikuti PKB pada tahun 2011 lalu, kesenian Berko yang sudah berulang kali berusaha dibangkitkan ini, lagi-lagi vakum karena penari yang sudah menikah. Kemudian memasuki tahun 2017, sempat ada permintaan dari Pemkab Jembrana untuk membangkitkan kembali kesenian Berko dan masih berusaha dipertahankan hingga saat ini. Namun sampai saat ini, apresiasi publik maupun pemerintah untuk menampilkan Berko dinilai masih cukup minim. Hal itu pun menjadi kekhawatiran yang akan membuat kesenian langka ini akan benar-benar punah. *ode

Komentar