nusabali

Banjir Modal di Lahan Lahar

  • www.nusabali.com-banjir-modal-di-lahan-lahar

Ribuan hektare lahan pertanian terkubur abu vulkanik letusan Gunung Agung, Februari 1963.

Sawah, tegalan dan kebun di Bali Timur dan Bali Selatan terkubur pasir, kerikil, dan bongkahan batu. Lahar melumat ladang di sepanjang sungai yang dialiri lahar. Tanah-tanah subur buat bercocok tanam di Sidemen, Bugbug, Subagan di Karangasem; serta desa-desa Gunaksa, Jumpai, Tangkas, Gelgel di Klungkung lenyap dalam sekejap tertimbun material vulkanik.

Jika kita berdiri di Desa Sampalan, Klungkung, memandang ke selatan, sejauh mata memandang yang tampak cuma batu-batu, dibawa aliran Tukad Unda, seakan menyatu dengan laut dan berakhir di Pulau Nusa Penida. Tidak keliru banyak komentar muncul, hamparan di Gunaksa yang memanjang ke Desa Tangkas, Jumpai, Gelgel adalah lautan lahar. Dari jauh, nun tak jelas batas antara batu vulkanik dengan laut. Keduanya seakan membentuk cakrawala bersama.

Belasan tahun tanah-tanah tandus itu tak tersentuh, sebelum akhirnya orang menanam pisang di antara semak dan perdu yang tumbuh liar. Akhir 1970-an, berbarengan dengan para petani pemilik lahan mulai mencari dan menduga-duga batas-batas kepemilikan tanah mereka yang terurug bebatuan di Gunaksa atau Subagan, dimulailah terobosan untuk memanfaatkan lautan lahar itu benar-benar sebagai lahan.

Dinas Peternakan Provinsi Bali bekerjasama dengan Fakultas Peternakan Universitas Udayana membangun demonstrasi plot (demplot) pakan ternak unggul di tanah lahar Gunaksa dan Subagan. Di petak-petak demplot itu dikembangkan pakan hijauan unggul antara lain leguminosa Stylosanthes atau rumput Brachiaria, yang ternyata bisa tumbuh subur di antara bebatuan.

Tapi, seperti lazimnya nasib pertanian di Bali yang dilirik sebelah mata pun tidak, penanaman pakan hijauan unggul di tanah lahar itu kelangsungannya kurang mendapat perhatian, tertinggal jauh oleh gemuruh industri pariwisata yang menjadi primadona.

Padahal ketersediaan pakan hijauan bagi Bali sangat penting demi menjaga keunggulan, daya tahan dan produktivitas sapi bali, salah satu ras sapi unik dunia. Ni Nyoman Suryani sudah mengingatkan hal itu dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Peternakan Unud, 9 Oktober 2021. ”Pengadaan bibit pakan hijauan unggul harus ditangani oleh pemerintah, dan petani peternak bisa mendapatkannya secara cuma-cuma,” saran Suryani.

“Ini bisa dilakukan dengan membangun demplot, tempat para petani peternak, penyuluh dan pakar (akademisi) bertemu dan berdiskusi.” Namun akhirnya yang dibangun di lahan lahar itu adalah Pusat Kebudayaan Bali (PKB), bukan tanaman pakan hijauan. Kawasan itu tidak diperuntukkan buat pertanian dan peternakan, namun untuk menampilkan bagaimana orang Bali hidup bersama seni, adat istiadat dan kebudayaannya. Pembangunan PKB ditandai Minggu, 12/1/2022 dengan pematangan lahan oleh Gubernur Koster di lahan lahar bekas galian C di Desa Gunaksa, yang oleh Gubernur disebut sebagai tanah yang tidak terawat. Seluas 325 hektare lahan lahar dibebaskan untuk PKB (NusaBali, 13/1/2022).

Pasti tidak cuma atraksi kesenian yang akan mengalir ke Desa Gunaksa, juga limpahan modal. Pembangunan di kawasan PKB akan menyedot banyak uang. Di sekelilingnya akan dipenuhi bangunan-bangunan dari kalangan berduit. Sekarang pasti banyak orang berkantong tebal menelusuri lekuk-lekuk Gunaksa untuk berinvestasi. Di desa itu dan sekitarnya sebuah kehidupan baru akan terbangun, keinginan-keinginan anyar pun tumbuh dan mekar, hasrat-hasrat besar bisa bergerak tidak terbendung.

Desa Gunaksa dan desa-desa tetangganya dulu adalah kawasan terpencil, sunyi, kering, ditinggal merantau penghuninya. Sekarang kawasan itu sudah mulai dibanjiri modal, yang melahirkan efek politik-ekonomi yang sering sulit diduga. Pengamat politik Fachry Ali menyatakan, di mana pun di negeri berkembang, banjir modal telah menggenangi wilayah terpencil sekalipun dengan menyingkirkan kalangan tak mampu.

Kepemilikan tanah-tanah lahar itu akan beralih. Pemilik lama akan menjualnya karena tawaran menggiurkan. Pasti banyak yang tidak menduga tanah bebatuan mereka bisa dijual dengan harga tinggi. Mereka tidak begitu peduli betapa dengan melepas kepemilikan tanah lahar itu mereka akan tersingkirkan. Di Bali banyak kawasan bisa dijadikan contoh untuk itu. Di Desa Pecatu, Badung Selatan, misalnya, ketika pemukiman baru dibangun dan kawasan wisata dikembangkan, pasti banyak kalangan tidak mampu tersingkir agar tidak kelelep tergenang banjir modal.

Ke PKB di Gunaksa dan desa-desa tetangganya, orang-orang berduit berduyun-duyun datang. Banjir modal di kawasan itu menyebabkan pemukiman kalangan tidak mampu akan tergenang. Mereka harus mengungsi agar tidak kelelep dan mati tenggelam. Memang begitulah kuasa modal. *

Aryantha Soethama

Komentar