nusabali

Putra Warisi Bhawa dan Siwa Krana

Pascapalebon Ida Pedanda Gede Jelantik Karang

  • www.nusabali.com-putra-warisi-bhawa-dan-siwa-krana

AMLAPURA, NusaBali
Pascapalebon Ida Pedanda Gede Jelantik Karang dari Geria Karang, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Sukra Umanis Merakih, Jumat (31/12/2021), sang putra kandung, Ida Wayan Oka Adnyana bersama istri, Ida Ayu Ratih Ratnadewi, menjalani diksa pariksa (persiapan untuk menjadi pendeta) di geria setempat, Sukra Pon Tambir, (7/1).

Banyak hal diwarisi Ida Wayan Oka Adnyana, yang rencananya menggelar upacara Diksita pada Purnama Kawulu, Soma Pon Matal, Senin (17/1). Warisan itu berupa Siwa Krana, Bajra atau genta, Bhawa (mahkota sulinggih). Khusus Bhawa, agar pas ukurannya, maka dibongkar dan dirancang kembali. "Pesan almarhum, agar melanjutkan sebagai sulinggih, sehingga dari Geria Karang terus ada sulinggih. Tujuannya agar tidak putus melayani umat sedharma," jelas Ida Wayan Oka Adnyana, alumnus pascasarjana Unhi Denpasar 2021 dan Universitas Mataram 1988 ini.

Pesan lain, lanjut ayah dua putri, kelahiran 21 Mei 1964 ini, agar bisa terus mengayomi wargi dadia. "Saya juga mewarisi keris pusaka yang selalu dibawa almarhum saat berjuang bergabung di Pasukan Ciung Wanara di zaman revolusi fisik 1945-1050, dan beberapa lontar," tambah seniman, yang juga pembina Sanggar Cita Wistara, Desa Budakeling ini.

Putra keempat dari enam bersaudara pasangan almarhum, Ida Pedanda Gede Made Jelantik Karang dan Ida Pedanda Istri Karang, juga dapat pesan agar tetap melestarikan seni dan budaya di Desa Budakeling. Pesan lain, palebon almarhum agar menggunakan Naga Puspa, karena almarhum bergelar abrasinuhun, dan sarana ini khusus untuk Ida Pedanda lanang (laki-laki).

Naga Puspa tinggi 2,5 meter, panjang 5 meter, menurut Ida Wayan Oka Adnyana, sebagai lambang pengikat sang sulinggih dengan masyarakat, sekaligus lambang cita-cita sang sulinggih. Keinginan panjang itulah sebagai penghalang bagi roh sang sulinggih mencapai alam nirwana, sehingga diputus dengan ritual memanah Naga Puspa. Dengan itu, perjalanan ke alam sunia tidak terhalang.

Sulinggih yang memanah Nada Puspa yakni Ida Pedanda Gede Wayan Demung. Dengan sasaran ke-11 penjuru mata angin termasuk ke arah atas bawah dan tengah. Arah mana, mata angin nantinya diikuti roh sang sulinggih menuju surga, salah satu arah mana angin akan diikuti setelah diberikan jalan melalui memanah nada puspa. "Tepat saat melepas anak panah ke arah timur laut, langsung mengeluarkan suara gemuruh dan turun hujan, pertanda arah itulah dituju menuju surga," katanya.

Selanjutnya Ida Pedanda Gede Wayan Demung bersama Ida Pedanda Gede Sogata, naik ke Naga Puspa, kemudian diusung menuju setra. "Makanya di setra Naga Puspa dibasmi (dibakar) ke arah timur laut," tambahnya.

Diksa Pariksa itu dihadiri calon guru nabe Ida Pedanda Gede Nyoman Jelantik Dwaja dari Geria Jelantik Dauh Pasar, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, calon guru waktra Ida Pedanda Gede Wana Yoga dari Geria Wanasari, Banjar Wanasari, Desa Talibeng, Kecamatan Sidemen, dan calon guru saksi Ida Pedanda Gede Made Jelantik Gotama dari Geria Tubuh, Banjar Abang Jeroan, Desa/Kecamatan Abang.

Ketua PHDI Ni Nengah Rustini, di acara itu juga mengingatkan tugas sulinggih, meningkatkan kasucian diri, ngeloka palasraya (muput upacara), penadahan upadesa (memberikan pencerahan kepada umat), dan nyurya sewana (menyucikan diri setiap pagi).

Sulinggih, di Lontar Sarasamuscaya katanya salah satunya berpredikat, sebagai satya wadi yakni selalu menyuarakan kebenaran. *k16

Komentar