nusabali

Lestari Berkat Yadnya Hindu Bali

Kerajinan Gerabah Tradisional di Perangsada

  • www.nusabali.com-lestari-berkat-yadnya-hindu-bali

Kesulitan mendapatkan tanah untuk bahan baku gerabah juga menyebabkan semakin sedikit warga Perangsada menekuni gerabah.

GIANYAR, NusaBali
Banjar Perangsada, salah satu nama banjar di Desa Pering Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Di Banjar ini aga sejumlah warga punya jejak panjang, bahkan eksis menjadi perajin gerabah. Maka banjar ini pun disebut-sebut sebagai salah satu kampung gerabah di Gianyar. Sejumlah  perabotan berbahan gerabah dibuat di kampung ini. Usut punya usut, kerajinan ini lestari karena rentetan yadnya (upacara) Hindu Bali yang tak putus-putus.

Produk kerajinan untuk pemenuhan yadnya, yakni paso atau pane (baskom), pulu (tempat beras), jeding (tempat tirta),  penyanyaan (mirip pengorengan) dan coblong (cawan kecil). Sedangkan produk non yadnya yakni pot bunga, keren (tungku), dan tungku penglaklakan. Sedang gerabah lain, diantaranya payuk dan senden tidak dibuat oleh perajin di Perangsada.

Keterampilan membuat gerabah di Banjar Perangsada merupakan keahlian tetamian atau warisan dari para tetua, menurun dari  generasi ke generasi. Sejak kapan persisnya tradisi menggerabah dimulai, tidak diketahui persis.

Bendesa Perangsada Jro Mangku Ketut Karma,41, menuturkan  dari cerita para tetua, pembuatan gerabah sudah ada sejak ratusan tahun.  “Namun persisnya, tiyang tidak pas betul tahu,”  ujarnya.

Dia ingat tentang gerabah dari  kakeknya  I Ketut  Rempeg (alm), selah seorang pembuatan gerabah di Perangsada. Setahu Mangku Karma sejak tahun 1970 – 1990-an, rata-rata warga di Banjar Perangsada menekuni gerabah. Hampir di setiap rumah tangga ada aktivitas menggerabah. “Saat itu, membuat gerabah merupaklam salah satu pekerjaan pokok selain bertani,” kenangnya.

Setelah tahun 1990-an mulai ada sejumlah warga menekuni profesi lain di Perangsada. Diantaranya, pematung kayu, tukang bangunan, buruh, karyawan, dan pedagang. Disusul, pekerja di sektor pariwisata seperti kerja di kapal pesiar, wiraswasta, dan bisnis lainnya. Alih profesi tersebut menyusul perkembangan dan kemajuan perekonomian secara keseluruhan. Dari sisi ekonomi, profesi baru tersebut dirasa menjanjikan karena lebih banyak  pendapatan.

Nah, selain karena  pilihan pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih,  kesulitan mendapatkan tanah untuk bahan baku gerabah juga menyebabkan semakin sedikit warga Perangsada menekuni gerabah. “Karena tanah di sini, yakni teba di luar karang sikut satak  sudah digali dulu untuk diambil tanahnya,” jelas Mangku Karma.

Foto: (kiri) Jro Mangku Ketut Karma. -NATA

Karena lokasi galian sudah habis, untuk bahan  membuat gerabah tentu harus didatangkan tanah liat dari luar dengan membeli. “Itu juga biayanya cukup tinggi,” kata Mangku Karma. Biasanya tanah dibeli dari sopir truk yang mengangkut tanah urug. Kini penekun gerabah di Perangsada ada sekitar 15 KK. Sebagian besar  dari generasi tua.

Pembuatan gerabah dilakukan secara manual dengan peralatan yang sederhana. Belum ada yang menggunakan peralatan yang lebih modern. “Maunya kalau ada dari instansi terkait, kita sangat berharap sekali untuk melestarikan gerabah Perangsada,” kata Mangku Karma. Tujuannya agar kerajinan gerabah tidak punah.

Karena itulah, beber Mangku Karma berancang- ancang membuat kelompok perajin gerabah. Tujuannya agar kerajinan gerabah yang merupakan salah satu ciri khas Perangsada, tetap lestari. “Tiyang sudah berancang-ancang bersama Pak Kepala Dusun,” ucap pria yang sehari-hari sebagai pedagang ini.

Membuat gerabah memang bukan pekerjaan ringan. Setidaknya  ada  8 tahapan pekerjaan yang  mesti dilakoni sampai menghasilkan gerabah. Tahapan itu mulai dari pengambilan bahan tanah  liat, dan menjemur. Setelah kering, ngintuk atau menumbuk tanah memakai alu sehingga teksturnya halus. Lanjut, diayak untuk mendapatkan tepung tanah liat. Kemudian ngulet yakni membuat adonan dengan mencampur tanah liat yang sudah  halus dengan air.  Sesudahnya baru proses pembuatan, terus pengeringan dan terakhir proses pembakaran. Dalam keadaan normal, butuh waktu 5 - 7 hari untuk seluruh proses pembuatan  gerabah. Proses ini belum termasuk kerja tambahan lain, yakni mengumpulkan jerami atau lulun ambengan untuk  membakar.

Kerja terakhir ini tak kalah berat. Karena untuk mendapatkan jerami  maupun lulun ambengan (sampah alang-alang) tak jarang perajin gerabah mencarinya hingga jauh ke desa-desa jauh. “Tiyang keliling cari sumi sampai ke Tegenungan, Pering, Buruan. Bapan tiyang negen (memilkul), tiyang nyuwun, jalan kaki,” kenang I Ketut Kaciran, perajin gerabah yang kini pematung kayu suar. Demikian juga setelah jadi gerabah, untuk memasarkan juga tidak gampang. “Tiyang sampai ke Klungkung, ke Sanur menjual gerabah,”  kata Kaciran.

Papar Kaciran, selain kerjanya berat,  penghasilan dari membuat gerabah, kecil. Itulah yang menyebabkan perajin gerabah beralih ke pekerjaan lain. Misalnya, era dulu kalau menekuni pekerjaan lain dapat upah Rp 40.000, membuat gerabah dapat Rp 15.000 . “Itu dulu. Namun sekarang tidak,” kata Kaciran. Penghasilan dari membuat gerabah sudah rata-rata hampir sama dengan pendapatan kerja lain.

Teknis menjual kini, warga yang memerlukan gerabah, datang langsung ke Perangsada. Perajin tidak lagi harus bepergian memasarkan gerabah ke luar desa.

Meski penekun gerabah berkurang, namun  gerabah Perangsada tetap bertahan. Karena gerabah merupakan  salah satu benda atau  peralatan  yang diperlukan krama Bali dalam upacara  keagamaan atau yadnya.

Kebutuhan gerabah untuk keperluan upacara  dan keperluan lainnya selalu ada. Namun perajin berkurang menjadikan menjadikan harga gerabah kembali menjanjikan. Hal itu karena stok barang gerabah yang tidak lagi massal, sehingga harganya  menjadi pantas. Jeding atau paso besar untuk wadah bagia pule kerti, misalnya dengan harga sampai Rp 250.000 per buah. Pendapatan perajin gerabah pun makin membaiik dibandingkan era lalu. 

“Cukuplah untuk kebutuhan hidup,” kata Ni Wayan  Muriadi, salah seorang perajin menunjuk produk-produk gerabah stok di rumahnya.

Penyediaan bahan baku berupa tanah liat juga tidak jadi masalah. “Ada saja sopir truk yang menawarkan tanah,” ujar Muriadi. Dari sopir truk lah bahan baku tanah liat dibeli.Terakhir ini harga per truk tanah liat Rp 400.000. “Namun tak semua tanah liat cocok untuk gerabah, harus dipilih juga,” lanjutnya.

Harga yang baik membuat gerabah secara alami akan  ada saja yang meneruskannya. Walau tidak sebanyak dulu. “Sekarang ini sudah ada yang muda-muda juga sudah biasa buat gerabah,” tunjuk Muriadi.7 nata

Komentar