Nasib Perajin Kecil
Para perajin kecil salah satu pihak yang terdampak pandemi Covid-19. Seperti yang dialami I Ketut Tebeng, perajin handicraft kayu dari Banjar Sala, Desa Abuan Kecamatan Susut, Bangli.
Sebelum pandemi 2 tahun, Tebeng acap menerima pesanan dalam jumlah banyak. Sampai ribuan pieces sekali kirim. Namun kini merosot drastis. “Hanya ratusan dari berbagai jenis,” ucap Tebeng Minggu (5/12). Otomatis penjualannya juga anjlok. Jika sebelum pandemi, Tebeng bisa mendapatkan pembelian sampai puluhan- belasan juta, saat ini menyusut separo lebih. “Bisa hanya dapat 5 juta saja,” ungkap Tebeng sambil memasukkan handicraft ke dalam kendaraan. Selain karena orderan berkurang, pengurangan penjualan karena harga handicraft ikut turun. “Sedang harga bahan baku (kayu albesia) naik,” ungkapnya. Sebelumnya perajin bisa mendapatkan harga Rp 600 ribu sampai Rp 1 juta per carry. Sekarang harga bahan baku melambung. Perajin tak bisa berkelit. “Karena memang kondisinya demikian. Syukur masih ada orderan walau sedikit,” kata Tebeng. Tebeng sendiri salah seorang dari 5 keluarga yang masih menekuni kerajinan kayu di Sala. Ketika handicraft booming di tahun 1980-1990-an, 107 KK warga Sala ketika itu sebagian besar perajin handicraft. Kerajinan kayu dalam bentuk pop art, seperti satwa dan tumbuhan dipesan eksportir yang kebanyakan dari Tegallalang, Gianyar. Namun lepas tahun 1990-an jumlahnya terus berkurang. Lebih-lebih setelah pandemi Covid-19. *K17
1
Komentar