nusabali

Cabul di Mana-mana

  • www.nusabali.com-cabul-di-mana-mana

Awal tahun 2006, Bali gigih menentang Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

Sejumlah cendekiawan, budayawan dan seniman Bali mendatangi Pansus RUU tersebut di Jakarta. Rakyat Bali bergolak meminta agar pembahasan rancangan undang-undang tersebut dihentikan. Kuta menggelar konser yang melibatkan 38 grup musik, menolak RUU APP. Di lokasi acara dibentang kain putih khusus bagi pengunjung untuk membubuhkan tanda tangan bagi mereka yang setuju menolak RUU APP. Dalam setiap aksi itu selalu terlontar sejumlah alasan mengapa rancangan undang-undang itu harus ditolak. Tak pernah Bali dilanda gelombang demo sehebat dan seluas itu.

Porno dalam bahasa Bali berarti jaruh. Tetapi jaruh tidak semata berarti cabul atau porno. Jaruh juga berarti jahat. Cicing jaruh artinya anjing jahat, bukan anjing cabul, karena anjing tak bisa dituduh melakukan pornoaksi ketika kawin seenaknya di tengah jalan ramai orang lalu lalang, di siang bolong. Cicing jaruh berarti anjing yang suka mencuri makanan, diam-diam menyikat habis makanan tuannya di atas meja. Anjing yang tiba-tiba suka mengejar ayam di pekarangan, mengejar pengendara sepeda, atau menggigit orang lewat, juga disebut cicing jaruh, anjing jahat, bukan anjing porno.

Ada pula istilah jelema jaruh, manusia tuna susila. Mereka adalah pelacur dan gigolo. Tetapi jaruh bagi orang Bali lebih menekankan pada pengertian seseorang yang suka mengumbar kata-kata cabul, senang melontarkan guyon nyerempet-nye­rempet seks. Kendati Bali ketat melaksanakan awig-awig adat, hingga kini belum ada awig-awig tentang pornoaksi. Seakan porno tak usah dipersoalkan benar. Bukankah sehari-hari mereka terlibat berbagai pernak-pernik pornografi?

Di Bali mudah diperoleh patung-patung cabul, lukisan-lukisan porno, di kios-kios kesenian. Orang-orang desa yang mandi ramai-ramai telanjang di sungai juga bakalan diciduk. Mereka yang ngomong-ngomong nyerempet jaruh di warung-warung atau arisan akan ditangkap. Bule takut berbikini di pantai. Tak akan ada peluk cium melepas kerabat di bandara. Bui bakalan sesak.

Orang Bali memang akrab dengan hal-hal cabul. Bisa dijumpai banyak kesempatan untuk bertindak jaruh. Mereka yang rajin ngayah pasti sering tenggelam dalam obrolan jaruh. Mereka yang terlibat dalam guyonan cabul itu laki perempuan. Seorang lelaki melontarkan sepotong kata cabul, yang lain menimpali, lalu seorang wanita menyahut, jadilah ngayah semarak omongan cabul. Seseorang lelaki berkisah, setelah minum pil ia kuat mongkod (memanjat). Seorang pengayah wanita segera menyambar dengan celetukan, “Mongkod apa?” Si lelaki segera menyahut, “Mongkod bangkiang (memanjat pinggang).” Tawa laki-perempuan pun berderai.

Boleh jadi omongan cabul dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan, anggap itu pendidikan seks, atau nge-charge setrum agar nanti malam semangat memeluk pasangan di ranjang. Dalam seni pentas omongan jaruh sangat lazim. Dalam pentas arja, drama gong, omongan jaruh justru ditunggu-tunggu, disambut gelak tawa sebagai ungkapan kreativitas. Sayangnya, tak banyak pregina sanggup menguasai seni ngomong jaruh agar tetap santun dalam koridor etika.

Karena terlalu bebas jaruh jadi kebablasan. Dari cuma omongan menjadi pornoaksi. Mereka kemudian menggunakan bahasa tubuh menjadi goyangan vulgar, seperti dalam joged porno yang lebih dua dekade terakhir menjadi santapan riuh di kampung-kampung. Begitulah cara mereka menarik penonton dari segala lapisan: anak-anak, remaja, orang dewasa, sampai ke orang-orang jompo. Para penikmat joged jaruh ini menganggapnya sebagai hiburan. Kalau pelakunya dihukum, bisa jadi mereka protes, menuding pemerintah tidak adil. Apakah semua pengunggah video bergoyang cabul, grup-grup porno di internet, sudah ditindak?

Pornoaksi, pornografi, sudah sangat parah, menjadi candu di internet, seperti orang-orang kecanduan game. Anak-anak minta duit pada bapak-ibu mereka untuk membeli pulsa, mentransfernya ke perempuan-perempuan binal, untuk video call sex (VCS). Mereka menderita narkolema (kecanduan pornografi), bisa berlanjut membooking pekerja seks. Istilah open booking out (BO) saban hari viral di jejaring sosial, ajakan untuk kencan seks di luar, di dunia nyata, tidak lagi di dunia maya, tak cukup VCS.

Ini tentu jauh lebih gawat tinimbang joged porno. Joged jaruh mudah digerebek dan tangkap. Tapi yang VCS, open BO, bagaimana memburu dan memberangus semua? Di depan ditangkap, muncul di belakang. Di samping digrebek, muncul di sebelah. Sekarang cabul itu ada di mana-mana, kapan saja. WA grup porno baru yang mengunggah video seks saban hari muncul berkali-kali, banyak sekali, dengan anggota ribuan satu akun. Gratis.

Tapi, selalu ada jalan ke luar. Ada yang berpendapat, ciptakan luas lapangan kerja, sehingga mereka tidak lagi menjadi penari joged porno yang jauh lebih liar dibanding streep tease. Terus, apa harus dilakukan untuk memberangus VCS dan open BO? Gampang: jangan ada kamera dalam telepon genggam dan gawai. Kita kembali ke zaman awal HP tanpa kamera. Pasti semua keberatan ya? Beh!

Aryantha Soethama

Komentar