nusabali

'Depang Gen, Let it Be'

  • www.nusabali.com-depang-gen-let-it-be

Jika Galungan dan Kuningan tiba, Wayan Waskita sangat senang, tidak karena ia akan menikmati hari besar untuk bersembahyang, tapi karena akan bertemu kawan dan kerabatnya.

Pertemuan ini bagi Wayan sangat penting, tidak karena ia akan bisa ngobrol bertukar cerita, namun lebih karena ia gampang mencari sekaa untuk maceki. 

Jika hari-hari biasa, ia harus menghubungi teman sana-sini agar jumlahnya lima orang, biar klop grup maceki. Repotnya kalau yang datang enam atau tujuh orang, ya harus gantian duduk bersila berlima. Sampai kini belum ada orang maceki enam orang satu kelompok. Kalau tiga atau empat orang bisa saja, tapi gak seru. 

Bagi Wayan, maceki adalah puncak kenikmatan hari raya. Ibunya, guru matematika SMA, sering menegur. “Maceki itu jelek sekali, Yan. Judi, ujung-ujungnya bikin sengsara.” “Sekali-sekali saja, Bu, hiburan sama teman-teman,” bela Wayan. Tapi lambat laun maceki menjadi darah daging Wayan. Tidak cuma hari raya dia maceki, setiap waktu kalau ada kesempatan. Hari raya Nyepi paling ditunggu-tunggu Wayan, karena ia bisa maceki sepanjang pagi, malam, diteruskan keesokan hari. Hanya ketika Nyepi ia bisa maceki 48 jam non-stop. Para bebotoh ceki itu sependapat, inilah hari maceki sejati, puncak dari segala ceki.

Si ibu mengeluh terus. “Bisa-bisa dagu Ibu copot, bibir robek, kerongkongan pecah, karena capek menasehati kamu, Yan.” Tapi Wayan tetap saja maceki, dan selalu membela diri dengan mengatakan, “Ini cuma hiburan, Bu, biar bisa kumpul-kumpul sama teman-teman.”

Si Ibu akhirnya curhat sama suaminya, dosen bahasa Inggris. “Tolong nasehati anakmu, sebelum rusak seratus persen.” Si ayah malah menasehati si ibu agar jangan panik. Ia menganjurkan, “Depang gen. Let it be.”  Si ibu terbelalak kaget, bagaimana ada seorang ayah membiarkan anaknya melangkah ke jurang nestapa? Tapi si ayah menjelaskan pelan-pelan, agar si ibu tidak tersinggung, tidak salah tampi.

Menurut dosen bahasa Inggris itu, kalau kita sudah berusaha sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya menyelesaikan masalah, namun tidak juga menampakkan hasil yang kita inginkan, sudahlah, pasrah saja. Pasrah itu bukan menyerah, tapi ikhlas menerima takdir. Orang Bali mengenal istilah “depang gen”, bahasa percakapan  dari “depang dogen”, artinya “biarkan sajalah”.

Menurut si ayah, sepanjang zaman, di semua bangsa, mengenal filosofi “depang gen” itu, pertanda ketidaksanggupan manusia menghadapi persoalan. “Karena itu kita harus bersyukur tidak ditimpa masalah yang lebih besar. Harus kita syukuri, Ini lebih baik daripada Wayan kecanduan narkoba,” ujar si ayah. Si ibu manggut-manggut, namun tetap sedih, membayangkan masa depan puteranya yang gelap karena hobi maceki.

“Kamu suka kan lagu-lagu The Beatles,” tanya suami. “Suka, tapi aku lebih ngefans sama Queen, mungkin karena habis nonton film Bohemian Rhapsody ya?” Si ayah menjelaskan, Beatles menggubah lagu “Let it Be” untuk menyatakan ya sudahlah, biarkan semua itu terjadi. Lagu ‘Que Sera-sera’ yang pertama dipopolerkan oleh Doris Day dalam film garapan  Alfred Hitchcock, The Man Who Knew Too Much tahun 1956, liriknya juga tentang kepasrahan, penyerahan. 

Lagu ini juga dikenal dengan judul ‘Whatever Will Be Will Be’ kemudian dinyanyikan oleh berjuta orang di seluruh dunia, mulai yang baru belajar menyanyi dan bermusik, sampai penyanyi-penyanyi tersohor. Hingga sekarang lagu ini bisa dinikmati sepanjang tahun. Bukankah ini pertanda filosofi pasrah, menyerahkan diri pada takdir, menjadi keyakinan sebagian besar manusia? “Jadi, pasrahkan saja kehidupan Wayan pada takdirnya,” saran si ayah.

Ternyata benar. Sejak menikah Wayan berhenti sama sekali maceki. Tapi, kini ia punya hobi baru: memancing. Ia telusuri sungai dan laut sepanjang malam hingga dini hari. Memang ia sering membawa ikan pulang, namun si ibu khawatir masa depan anaknya. “Depang gen,” saran si ayah. “Let it be, Dear. Wayan punya takdir sendiri.” Si ibu, guru matematika itu, cuma bisa bengong. Pandangannya menerawang jauh, kosong. 7

Komentar