nusabali

MUTIARA WEDA: Berkicau pada Waktunya

Bhadram bhadram krtam maunam kokilairjaladāgame, Dardurāh yatra vaktārah tatra maunam hi sobhate. (Subhasita Ratnakar)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-berkicau-pada-waktunya

Saat musim hujan mulai menyerang, burung kukuk (cuckoo) tidak berkicau. Karena, saat ada kebisingan mengganggu (suara katak bernyanyi), lebih baik tetap diam (tidak merendahkan talenta).


TEKS di atas sebenarnya menyindir kita, karena sering kita berkicau tidak pada musimnya, tidak pada tempatnya. Tendensi ini seolah mendapat angin segar, ditopang oleh sosial media 24 jam, sehingga kicauan kita tanpa batas, tidak kenal siang malam. Apapun isu yang dihembuskan, apapun polemik yang sedang diangkat. Kita tidak pernah absen, dan bahkan kicauan kita bisa lebih banyak dibandingkan mereka yang menghembuskan isu itu. Polanya seolah kita memiliki banyak pengetahuan atau mahatahu, tahu apa saja. Menariknya, kita menikmati suasana itu, kicauan yang rame, saling sahut-menyahut dengan kicauan lain atau dari mereka-mereka yang memiliki tendensi sejenis.

Tetapi, melihat teks di atas, kita sepertinya bisa belajar dan baik untuk dijadikan pertimbangan. Burung Kukuk tidak berkicau saat musim hujan. Mengapa? Karena itu bukan waktunya. Apa yang terjadi jika dipaksakan? Bisa jadi suara burung Kukuk akan memburuk, tidak merdu lagi. Kecerdasan semesta mungkin mengindikasikan bahwa burung Kukuk dinubuatkan untuk berkicau saat musim semi atau musim selain hujan. Suara merdunya pun tidak akan terganggu, sebab musim mendukungnya. Suara kodok pun tidak akan mengacaukan merdunya suara burung Kukuk, sebab kodok akan bersuara hanya ketika musim hujan. Semesta mengaturnya demikian sehingga tidak saling berbenturan. Suara katak yang serak memiliki keindahannya sendiri, demikian juga burung Kukuk sepanjang tepat sesuai waktunya. Apa jadinya jika suara katak yang serak bercampur-aduk dengan suara burung Kukuk yang merdu?

Dari hal tersebut, sepertinya kita diingatkan. Kecerdasan alam itu juga semestinya berlaku bagi kita, hanya saja kita diberikan kebebasan untuk menentukan kapan timing-nya. Bahkan oleh karena kita memiliki kecerdasan pikiran, rentang yang diberikan sangat panjang, dari yang terbawah sampai teratas. Kerja atau perilaku hewan seperti burung Kukuk dan katak di atas tidak pernah melewati batasnya, karena telah ditentukan demikian. Mereka dengan sendirinya harmoni. Tetapi, kita yang memiliki kebebasan penuh jika tidak menajamkan kecerdasan itu dan maksimal menggunakannya, yang terjadi bisa kebalikan dari harmoni itu. Ini telah terjadi dari zaman ke zaman, dan dipastikan di masa yang akan datang juga akan tetap terjadi dengan baju yang berbeda.

Apa yang bisa dikerjakan agar kecerdasan kita tidak mengambil tempat pada tingkat terbawah dan menciptakan disharmoni? Tentuk teks di atas bisa dijadikan pijakan dan kemudian melakukan sesuatu accordingly. Bagaimana agar kecerdasan semesta itu menyatu dengan kecerdasan pikiran yang rentangnya tidak pernah kita ketahui sampai mana batasnya? Tentu jawabannya adalah viveka. Dijamin 100 persen bahwa siapapun yang berkicau itu ‘benar’ di pikirannya. Pasti mereka merasa benar. Masalahnya jika ‘benar’ dengan ‘benar’ beradu, sama-sama berkicau, merdunya akan hilang, saling bertabrakan sehingga tercipta disharmoni. Sehingga dengan demikian, kebenaran harus disampaikan secara bijak, kapan, bagaimana, di mana serta dengan siapa. Itu kira-kira vivekanya.

Bukankah ada sebuah situasi yang harus diselesaikan dengan segera tanpa harus menunggu, sebab keberadaannya sangat membahayakan? Tentu, dan memang itu harus diselesaikan segera. Tetapi tetap viveka. Penyelesaiannya harus sesuai dengan SOP-nya. Jika tidak, bukan penyelesaian yang terjadi, tetapi kehancuran. Seperti misalnya ketika kita berjalan jauh dan kehausan. Kita harus selesaikan rasa haus ini segera sebab jika tidak akan dehidrasi. Ini sangat urgent. Kita pun menemukan genangan air, tetapi air tersebut masih kotor karena baru saja ada sekawanan hewan lewat. Hal yang bisa kita lakukan adalah bersabar menunggu air tersebut jernih kembali. Kita tidak bisa mengaduk air tersebut, sebab setiap tindakan yang dikerjakan akan memperparah keruhnya air. Memahami dengan benar bahwa kita harus berdiam untuk sementara, meskipun sedang haus luar biasa, adalah tindakan yang paling bijak dibandingkan mengaduk-aduk airnya. Urgensi tindakan kita adalah tidak melakukan apa-apa karena SOP-nya demikian. Seperti itu kira-kira cara kerjanya, kapan kita harus melakukan sesuatu dan kapan harus diam, karena mengerti prosedurnya dengan baik. *

I Gede Suwantana

Komentar