nusabali

Buat Lamak, Tambah Pendapatan Keluarga

Tradisi Krama Serokadan Jelang Galungan-Kuningan

  • www.nusabali.com-buat-lamak-tambah-pendapatan-keluarga

BANGLI, NusaBali
Umat Hindu Bali, terlebih kaum istri, pasti kenal dengan lamak. Bahan ini berupa papayasan (hiasan) berbahan ron dan ambu, dipasang di bagian depan palinggih, baik di mrajan/sanggah maupun pura.

Fungsi lamak sama pentingnya dengan upakara lain. Lamak wajib digunakan saat piodalan, hari suci Galungan dan Kuningan.

Namun tak banyak orang tahu, dimana bahan upakara berbasis keindahan ini dibuat. Salah satunya yakni di Banjar Serokadan, Desa Abuan, Kecamatan Susut Bangli.

Jika jelang Hari Raya Galungan dan Kuningan, sebagian besar warga Banjar Serokadan membuat  lamak hingga ngelembur.

Lamak umumnya berbahan ron dan ambu. Ron, daun jaka yang sudah tua, ambu daun atau pelepah jaka yang masih kuncup. Dibuat sedemikian rupa dengan reringgitan pada bidang yang memanjang. Panjang sekitar 50 cm - 60 cm, lebar sekitar 15 cm -20 cm. Jadilah lamak sebagai salah satu pertanda kemeriahan Galungan dan Kuningan.

Di Serokadan dan sekitarnya pembuatan lamak tidak saja untuk kebutuhan internal, tetapi juga untuk dijual ke luar desa. Lamak Serokadan dijual di Pasar Bangli, Pasar Gianyar, bahkan hingga ke Denpasar, Nusa Dua, Karangasem dan tempat lain di Bali. Karenanya pembuatan lamak di Serokadan merupakan bisnis rutin enam bulanan. Maka di banjar ini, tradisi membuat lamak mentradisi sekaligus jadi sumber rejeki.

I Wayan Pariana,53, salah seorang warga Serokadan, menuturkan usaha buat lamak ini banjar ini dimulai sekitar tahun 1960-an. Orang tuanya yang memulai penjualan lamak ke luar Serokadan. “Jualnya malam hari ke Gianyar dan Bangli, pakai sundih (obor minyak tanah),” kenang Pariana, Rabu (3/11).

Kini, usaha pembuatan lamak di Serokadan jadi kerajinan rutin jelang Galungan. Kelian Dinas Serokadan I Ketut Subakti, hampir semua dari 110 song atau 437 KK di Serokadan membuat lamak. “Termasuk keluarga saya juga membuat,” kata Subakti. Pembuatan lamak itu menurun dari orangtuanya yang juga membuat lamak untuk dijual.

Jelas dia, pendapatan dari membuat lamak sangat membantu perekonomian warga, minimal untuk keperluan merayakan Galungan. Dia mengakui, tradisi pembuatan lamak Serokadan terbawa-bawa ke desa lain. Biasanya kalau ada warga Serokadan yang kawin keluar, juga menularkan keterampilan membuat lamak di keluarga suami.

Lamak dijual dengan kondisi bahan yang masih segar. Karena itu tidak bisa dibuat jauh-jauh hari, atau dengan membuat stok. Diawali dengan pengumpulan bahan ron dan ambu  ron, sepekan sebelum Galungan.  Ada yang mencari di tegalan, ada yang membeli dari tempat lain. Diantaranya dari wilayah Bangli lainnya, yakni Kayuamba, Tembuku, dan Kintamani.

“Kualitas harus dijaga. Lamak mesti segar,” ujar I Nyoman Winantara, warga Serokadan lainnya. Proses pembuatan lamak dimulai dengan memotong bahan sesuai ukuran, ngeringgit, lanjut menjahit. Untuk Galungan, Hari Penampahan Galungan merupakan hari terakhir pemasaran lamak. Karena itu membuat lamak sampai lembur. Tujuanya agar dapat lamak sesuai dengan pesanan maupun jumlah banyak dan lamak tetap segar.

Ni Ketut Sariasih,60, orang tua Winantara, menyebut membuat lamak tidak boleh sembarangan karena
ada pakem. Dimulai bagian ulu (kepala) bahu, dada/badan dan kaki (tri angga). Bagian-bagian itu diringgit dalam bentuk hiasan jejahitan unik. “Tidak sekadar membuat hiasan,” tunjuk Sariasih.

Selain lamak Galungan, juga ada lamak cili, ukuran lebih panjang, bisa 3 - 4 meter yang dipasang pada penjor anten (penjor pernikahan). Hanya pembelian lamak cili, tidak seramai lamak Galungan. *k17

Komentar