nusabali

Kelola Sampah Karena Cinta Lingkungan

Kesetiaan I Wayan Cakra Bergulat di TPA Temesi

  • www.nusabali.com-kelola-sampah-karena-cinta-lingkungan

GIANYAR, NusaBali
Nama I Wayan Cakra,50, tak terpisahkan dari persoalan lingkungan, khususnya sampah yang terus menjelimet.

Karena laki-laki asal Desa Temesi, Kecamatan Gianyar, Gianyar ini sejak tahun 2004 menjabat sebagai Manajer Yayasan Pemilahan Sampah Temesi (YPST) di desa setempat.

Menjadi manajer membuat dia tiap hari mangkal di TPA Temesi. Jabatan itu tak hanya menuntut konsentrasi pada kebersihan lingkungan, Cakra juga wajib memutar otak hingga mengorbankan hari-harinya demi pemanfaatan sampah menjadi barang bernilai. Kepada NusaBali, Cakra mengaku intensitasnya bergelut pada sampah bermula sejak awal tahun 2004. Saat itu, sejumlah tokoh peduli lingkungan dalam Rotary Club dan Yayasan Bali Fokus, berniat untuk mengelola sampah di TPA Temesi. Tokoh dimaksud, diantaranya, David Kuper, asal Swiss. Pengelolaan yang ditawarkan melalui yayasan milik desa.

Jelas dia, niat mulia Rotary Club itu karena menyimak TPA terbesar di Bali timur ini akan mengalami penumpukan sampah yang terus-menerus. Kondisi itu amat sulit ditangani secara konvensional, ‘sampah hanya layak dibuang’. Di sisi lain, masyarakat khususnya di Kabupaten Gianyar tak punya alternatif tempat lain untuk membuang sampah, kecuali ke TPA Temesi. Semangat inti dari tawaran Rotary Club yakni sampah mesti dikelola agar bernilai ekonomi. Selebihnya, sampah jangan terbiarkan liar hingga merusak public etic (etika publik) dalam hal menjaga dan menata lingkungan.

Sampah organik mesti diolah jadi pupuk kompos. Sampah non organik dalam segala bentuk dijual ke pengepul barang rongsokan.  

Wayan Cakra mengaku terkenang. Saat pihak Rotary Club bersosialisasi di Balai Banjar Temesi, untuk membangun tempat pengelolaan sampah ini, ada tiga warga yang bicara. ‘’Dari tiga warga itu, dua orang setuju, seorang dengan pernyataan ngambang. Dari dua yang setuju, termasuk saya,’’ kenang Cakra.

Dengan mempertimbangkan segala aspek, terutama pengurangan tumpukan sampah dan memanfaatkannya,   

maka desa sepakat membentuk Badan Pengelola Sampah Desa Temesi. Wayan Cakra dipercaya menjadi salah satu anggota badan. Selanjutnya dibentuk tim untuk merekrut tenaga kerja (naker) yang dipekerjakan memilah sampah.

Pelamar kerja ini mencapai ratusan orang, namun yang diterima 60 orang. Mereka kerja dua shift, pagi dan sore. Selanjutnya, desa mengubah badan ini menjadi yayasan. ‘’Saya ditunjuk jadi manajer yayasan ini,’’ kenangnya Cakra.

Setelah enam bulan pengelolaan sampah, dana dari Rotary Club dan Bali Fokus, habis. Bali Fokus malah mundur dalam pengelolaan. Namun Wayan Cakra tetap menjalankan kegiatan pengelolaan sampah, dengan risiko dua bulan tak ada manajemen dan karyawan menerima gaji.

Solusinya, Wayan Cakra kembali menemui David Kuper hingga warga asing ini memberikan uang pribadinya untuk membiayai pengelolaan sampah itu. David Kuper dan Wayan Cakra lanjut mengembangkan riset untuk membuat pupuk kompos. Pupuk ini dijual untuk menambah modal pengelolaan. Dengan pelbagai inovasi,

Wayan Cakra dan tim berjuang untuk meraih sertifikat United Nations Environment Programme (UNEP). UNEP ini merupakan salah satu kelembagaan di bawah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang khusus menangani lingkungan.

Selanjutnya, dia mencari pendamping yakni Yayasan Gelombang Udara Segar dari Kecamatan Kuta, Badung. Pendampingan ini untuk meraih dana karbon kredit pada sebuah perusahaan di Jerman. Dengan sponsor itu selama 10 tahun, maka yayasan ini makin mampu mengelola sampah dan menggaji karyawan. Kini YPST mempekerjakan 22 karyawan, dari jumlah itu terdapat empat orang staf.

Wayan Cakra menyebutkan YPST kini membutuhkan dana sekitar Rp 120 juta untuk biaya operasional per bulan. Untuk operasi ini, yayasan masih dibantu sekitar Rp 70 juta dari dana karbon kredit melalui Yayasan Bumi Sasmaya yang bersekretariat bersama dengan YPST di komplek TPA Temesi. Karena YPST hanya mampu menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp 50 juta, dari menjual kompos dan rongsokan. ‘’Target kami ke depan, yayasan kami bisa berdiri dalam pembiayaan pengelolaan sampah ini,’’ jelas ayah tiga anak ini.

Wayan Cakra mengakui pengelolaan sampah masih dihinggapi persoalan lain. Salah satunya, masyarakat belum habit atau terbiasa dalam memilah sampah. Akibatnya, petugas harus lebih banyak yang dilibatkan untuk pilah sampah. Muaranya, biaya pilah jadi membengkak. Jika sampah dipilah dengan baik hingga terpilah sempurna sampai di YPST, maka biaya olah sampah jadi pupuk kompos dan barang rongsokan akan sangat murah. ‘’Bahkan kalau ada sampah terpilah secara sempurna, minimal organik dan non organik, saya berani beli dan jemput ke sumbernya,’’ terang Wayan Cakra.

Dirinya sempat mengamati ada banyak warga telah memilah sampah dari rumah, minimal jadi dua; organik dan non organik. Namun dua jenis sampah ini kembali baur karena diangkut dalam satu bak truk oleh petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Gianyar. Idealnya, pengangkutan sampah harus dengan truk berbeda antara sampah organik dan non organik. Dia pun berharap agar masyarakat, instansi, sekolah, dan produsen sampah ‘bersuara’ jika mengetahui sampahnya yang telah dipilah malah dibaurkan kembali saat diangkut truk sampah. Karena akan percuma pilah sampah sampai dalam tiga tong, toh pengangkutannya digabung dalam satu bak truk.

Cakra menambahkan, YPST berdiri di atas lahan Pemkab Gianyar dengan pemakaian non sewa sejak tahun 2010, kini berlanjut hingga tahun 2025. Menurutnya, YPST sangat membantu mengurangi tumpukan sampah TPA Temesi. Lebih-lebih, sampah yang dikirim ke TPA Temesi mencapai 300 ton/hari. Dari jumlah itu baru 10 persen atau 10 ton bisa dikelola oleh YPST. Dari 300 ton itu sekitar 70 persen adalah sampah organik. *wilasa

Komentar