nusabali

Terkait dengan Perang Kerajaan Klungkung vs Karangasem Tahun 1750

Ritual Dewa Masraman di Desa Paksebali, Kecamaran Dawan yang Ditetapkan Jadi WBTB Nasional

  • www.nusabali.com-terkait-dengan-perang-kerajaan-klungkung-vs-karangasem-tahun-1750

Tradisi ritual Dewa Masraman dibawa oleh penjaga perbatasan Kerajaan Klungkung-Kerajaan Karangasem asal Desa Timbrah (Kecamatan Karangasem), yang hijrah ke Banjar Timbrah, Desa Paksebali, Kecamaran Dawan pasca raja mereka kalah perang.

SEMARAPURA, NusaBali

Salah satu dari empat objek tradisi Kabupaten Klungkung yang baru ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional 2021 adalah tradisi ritual Dewa Masraman. Tradisi ritual yang diwarisi secara turun temurun oleh krama di Banjar Timbrah, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung ini diyakini ada kaitan dengan perang Kerajaan Klungkung vs Karangasem di masa silam.

Ritual Dwa Masraman merupakan tradisi ritual keagamaan yang dibawa oleh krama asal Desa Timbrah, Kecamatan Karangasem yang dulu hijrah ke Desa Paksebali. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Klungkung, Ida Bagus Jumpung Gede Oka Wedhana, kehadiran penduduk dari Desa Timbrah ke Desa Paksebali dikaitkan dengan peristiwa perang Kerajanan Klungkung vs Kerajaan Karangasem tahun 1750.

"Mereka semua ditugaskan oleh Raja Karangasem berjaga di perbatasan dua kerajaan (Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Klungkung, Red). Kebanyakan dari mereka adalah soroh Pasek Bugbug," ungkap Gus Jumpung kepada NusaBali di Semarapura, Jumat (29/10) lalu.

Gus Jumpung menyebutkan, pasca perang dengan kekalahan kubu Kerajaan Karangasem itu, maka penjaga perbatasan dari Desa Timbrah menyatakan kesetiaannya kepada Raja Klungkung. Akhirnya, mereka diberikan tempat untuk tinggal menetap di kawasan yang kini dineri nama Banjar Timbra, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan. "Untuk mengingat nama tempat asalnya, maka daerah yang diberikan Raja Klungkung diberi nama Banjar Timbrah," papar Gus Jumpung.

Begitulah, penduduk asal Desa Timbrah itu tinggal menetap di Banjar Timbrah dengan membawa serta warisan budaya berupa sebuah tempat pemujaan Pura Panti, yang dilengkapi dengan tradisi ritual keagamaan kepada Ida Sang Hyang Widi (Dewa Yadnya). Tradisi ritual keagamaan itu disertai pula dengan ritual magibung (makan bersama) yang melibatkan anak-anak muda (Sekaa Teruna), untuk memohon berkah kesuburan dan kesejahteraan dari para dewa.

Tradisi ritual itu disebut Dewa Masraman. Menurut Gus Jumpung, tradisi ritual Dewa Masraman dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) bertepatan Hari Raya Kuningan, pada Saniscara Kliwon Kuningan atau 10 hari setelah Galungan.

Penduduk asal Desa Timbrah, Kecamatan Karangasem yang hijrah ke Desa Paksebali, Kecamatan Dawan sebagai bentuk kesetiaan terhadap Raja Klungkung pada pertengahan abad XVIII, kata Gus Jumpung, teridentifikasi dari pelbagai kelompok keturunan: Pasek Bendesa Bugbug, Trah Suci, Trah Pulasari, dan Trah Pasek Dukuh Bugbug.

Solidaritas kolektif di antara sesama kelompok keturunan (trah) ditandai oleh kesetaraan dalam praktek ritual pesta makan bersama (magibung), yang merupakan bagian dari prosesi ritual Dewa Masraman. "Selain itu, juga dipentaskan tarian Rejang Dewa dan Tarian Lente, yang ditarikan oleh anak-anak dan remaja wanita," ujar Gus Jumpung.

Aspek sosial dari ritual Dewa Masraman melibatkan seluruh krama Banjar Timbrah, Desa Paksebali, lanang istri (laki perempuan), mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Di situ kelihatan ada pembagian tugas yang dilandasi semangat persatuan dan gotong royong sangat kental krama setempat. "Persatuan dan gotong-royong yang dipraktekkan dalam ritual Dewa Masraman berfungsi untuk memperkuat solidaritas kolektif komunitas krama Banjar Timbrah, sebagai pola menetap mereka," terang Gus Jumpung.

Dalam ritual Dewa Masraman, kalangan remaja lanang (laki-laki) memgambil peran mengusung jempana Ida Ratu Lingsir, Ida Bhatara Ratu Gumang, Ida Bhatara Batur, Ida Bhatara Manik Bingin, Ida Bhatara Ratu Kelod Kangin, Ida Bhatara Ratu Nganten, dan Ida Bhatara Manik Botoh. "Para Dewa (Ida Bhatara) ini menjadi sistem pemujaan yang diyakini memberikan berkah keselamatan dan kesejahteraan krama," kata Gua Jumpung.

Praktek ritual Dewa Masraman adalah atraksi ritual yang bersifat sakral dan telah dilaksanakan dari generasi ke generasi, sehingga tetap dilestarikan dan dilaksanakan hingga saat ini. Ritual Dewa Masraman telah menjadi bagian kehidupan keagamaan di Pura Panti Timbrah, Desa Paksebali.

Dari aspek makna, kata Gus Jumpung, ritual Dewa Masraman dapat diidetifikasi makana solidaritas antara kelompok keturunan krama berdasarkan hubungan horizontal, yaitu kesetaraan. Praktek ritual Dewa Masraman dimaknai sebagai ritual untuk memohon kesuburan alam semesta (Bhuwana Agung), kesejahteraan, persatuan, dan persaudaraan, serta keharmonisan manusia dengan makhluk hidup lainnya (Bhuwana Alit) dan manusia dengan lingkungannya (alam semesta). Dari aspek seni, kata Gus Jumpung, praktek atraksi dan tarian dalam Dewa Masra-man dapat dimaknai sebagai ritual keagamaan yang bersifat sakral.

Sementara itu, Perbekel Paksebali, I Putu Ariadi, mengatakan krama setempat menyambut baik langkah Pemkab mengusulkan tradisi ritual Dewa Masraman sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional. Dengan penetapan sebagai WBTB Nasional, nantinya tidak ada pihak luar yang mengklaim ritual Dewa Masraman, yang merupaman tradisi khas Banjar Timbar, Desa Paksebali.

Di samping itu, kata Putu Ariadi, dengan status sebagai WBTB Nasional, otomatis tradisi ritual Dewa Masraman akan mendapat perhatian dari pemerintah pusat. "Selama ini, ritual Dewa Masraman juga sudah menjadi paket desa wisata budaya dan spritual di Desa Paksebali," papar Putu Ariadi saat dikonfirmasi NusaBaali secara terpisah.

Sekadar dicatat, ada 4 objek warisan budaya dari Klungkung yang ditetapkan pemerintah pusat sebagai WBTB Nasional 2021, akhir Oktober lalu.Selain tradisi ritual Dewa Masraman dari Desa Paksebali, juga ada proses pembuanan Kain Tenun Cepuk dari Desa Tanglad (Kecamatan Nusa Penida), Barong Nong Nong Kling dari Banjar Suwelagiri, Desa Aan (Kecamatan Banjarangkan), dan ritual Caru Mejaga-Jaga dari Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa (Kelurahan Semarapura Kaja, Kecamatan Klungkung). *wan

Komentar