nusabali

Pusat Respons Upaya Perlindungan Uyah Bali

Gubernur Koster Ajukan Pengecualian Standar SNI untuk Garam Tradisional Bali

  • www.nusabali.com-pusat-respons-upaya-perlindungan-uyah-bali

Selama ini, pasar modern di Bali enggan pasarkan uyah Bali dan pilih masukkan produk garam impor, dengan alasan berlaku aturan SNI.

DENPASAR, NusaBali

Gubedrnur Bali Wayan Koster mengajukan permohonan kepada Presiden Jokowi untuk evaluasi dan mengkaji Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium. Ini sebagai upaya melestarikan, melindungi, memberdayakan, dan me-manfaatkan produk garam tradisional lokal Bali (uyah Bali). Pemerintah pusat pun respons positif kebijakan perlndungan uyah Bali ini.

Permohonan kepada Presiden Jokowi tersebut dituangkan Gubernur Koster dengan Surat Nomor B.40.188.54/5817/Bag.I/B.Hk tertanggal 13 Juli 2021. Melalui surat tersebut, Gubernur Koster juga memohon kepada Presiden Jokowi untuk berkenan mengevaluasi dan mengkaji Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 10/M-IND/PER/2/2013 tentang Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam rangka pemberlakuan dan pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) garam konsumsi beryodium secara wajib. Intinya, Gubernur Koster minta pengecualian dalam standar SNI.

Gubernur Koster menyebutkan, Kepres Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium dan Permen Perindustrian Nomor 10/M-IND/PER/2/2013 tentang Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam rangka pemberlakuan & pengawasan SNI garam konsumsi beryodium secara wajib tersebut kurang sejalan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Lerlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Selain itu, juga tidak mendukung kebijakan pemerintah yang tengah menggencarkan pemanfaatan produk lokal.

Permohonan yang diajukan Gubernur Koster ini mendapat respons positif dari pusat. Menteri Sekretaris Negara Pratikno telah meneruskan surat permohonan tersebut kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, dan Kepala Badan Pengawas Obat & Makanan (BPOM), 28 Juli 2021 lalu.

"Mensesneg meneruskan kepada Menko Marves agar menindaklanjuti permohonan kita (Gubernur Bali), untuk kemudian dilakukan evaluasi dan pengkajian kembali Keppres Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium," ujar Gubernur Koster dalam keterangan persnya di Denpasar, Minggu (3/10).

Selain itu, kata Gubernur Koster, juga diajukan permohonan agar ada peraturan pelaksanaan dalam rangka pemasaran dan pemanfaatan produk garam tradisonal lokal Bali, untuk pangan lokal, serta perdagangan lokal, nasional, dan ekspor.

Menurut Gubernur Koster, bukan hanya Mensesneg Pratikno yang langsung merespons surat permohonan terkait upaya perlindungan produk garam tradisional lokal Bali, namun juga Menteri Perindustrian, Menko Marves, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Koperasi.

"Bapak Menteri Perindustrian (Agus Gumiwang, Red) juga telah menindaklanjuti surat Menteri Sekretaris Negara tanggal 18 Agustus 2021, dengan melakukan pembahasan perubahan Keputusan Presiden (Keppres) menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional," tandas Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.

Selain itu, kata Koster, permohonannya juga ditindaklanjuti dengan perubahan Permen Perindustrian tentang Pemberlakuan SNI Wajib Garam Konsumsi Beryodium, yang berisi ketentuan pengecualian terhadap produk garam tradisional lokal Bali (Uyah Bali). "Pusat memberikan respons positif, seperti dari Bapak Menko Marves, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Kope-rasi," katanya.

Koster menyebutkan, surat permohonan evaluasi dan mengkaji Kepres Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium dan Permen Perindustrian Nomor 10/M-IND/PER/2/2013 tentang Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam rangka pemberlakuan & pengawasan SNI garam konsumsi beryodium secara wajib yang diajukan ke pusat tersebut merupakan salah satu bentuk nyata pelak-sanaan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana Menuju Bali Era Baru.

Visi tersebut bermakna menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, untuk mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia sekala-niskala menuju kehidupan krama dan Gumi Bali sesuai dengan Prinsip Tri Sakti Bung Karno: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, melalui pembangunan secara terpola, menyeluruh, terencana, terarah ,dan terintegrasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.

Untuk mewujudkan visi tersebut, kata Koster, Pemprov Bali telah membuat kebijakan dan program perekonomian yang berpihak pada sumber daya lokal, meliputi bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta industri kerajinan rakyat berbasis budaya branding Bali, yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali.

Menurut Koster, upaya pengembangan dan pemberdayaan Uyah Bali selama ini tidak dapat dilakukan secara optimal di Bali, karena terhambat oleh Keppres Nomor 69 Tahun 1994 dan Permen Perindustrian Nomor 10/M-IND/PER/2/2013. "Sehingga produk garam tradisional lokal Bali tidak dapat dijual di pasar modern dan pemasarannya tidak maksimal di pasar rakyat. Sebab, Uyah Bali dikategorikan kandungan yodiumnya tidak memenuhi standar SNI," papar politisi senior PDIP asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini.

Koster menegaskan, ketentuan ini sangat tidak berpihak pada sumber daya lokal, baik produk lokal, kearifan lokal, maupun petani garam lokal Bali. Padahal, garam tradisional lokal Bali telah dikenal sebagai garam yang higienis, berkualitas tinggi, dan memiliki cita rasa yang khas.

Buktinya, uyah Bali dimanfaatkan oleh hotel bintang lima di Bali dan di Jakarta. Bahkan, uyah Bali telah mendapat pengakuan dari berbagai negara yang menjadi tujuan ekspor, seperti Jepang, Korea, Thailand, Prancis, Swiss, Rusia, dan Amerika Serikat.

"Menjadi sangat aneh dan sungguh tidak masuk akal, negara-negara yang memiliki standar kualitas tinggi dalam mengkonsumsi pangan telah memakai produk garam tradisional lokal Bali, tetapi pasar modern di Bali justru tidak memasarkan uyah Bali. Mereka masih terus memasukkan produk garam impor dengan alasan berlaku aturan SNI," sesal Kostere.

Berangkat dari fakta-fakta tersebut, Koster sendiri mengeluarkan terobosan berupa kebijakan baru yang dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali, yang diberlakukan mulai 28 September 2021. Menurut Koster, untuk lebih memperkuat dasar hukum demi keberlanjutan pemasaran dan pemanfaatan produk garam tradisional lokal Bali, diperlukan perubahan kebijakan nasional yang lebih berpihak pada pemasaran dan pemanfaatan sumber daya lokal, baik produk lokal, kearifan lokal, maupun petani garam lokal guna meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan krama Bali secara sekala-niskala.

Koster mengucapkan terima kasih dan memberi apresiasi kepada pemerintah pusat, khususnya Mensesneg dan Menteri Perindustrian, yang telah memberikan respons positif atas permohonannya. Koster berharap agar proses perubahan peraturan tersebut (Perptres dan Permen Perindustrian) dapat diselesaikan lebih cepat.

Versi Koster, hal ini akan menjadi dasar hukum kuat untuk melestarikan, melindungi, memberdayakan, dan memanfaatkan produk garam tradisional lokal Bali dalam rangka meningkatkan perekonomian krama pesisir Bali. “Uyah Bali harus dapat dijual di pasar modern, pasar rakyat, pelaku usaha di Bali, serta diperdagangkan di luar Bali dan diekspor ke mancanegara. Krama Bali tidak lagi membeli garam impor,” harap mantan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Bali tiga kali periode (2004-2009, 2009-2014, 2014-2018) ini. *nat

Komentar