nusabali

MUTIARA WEDA: Benar Lawan Benar

Maharsinām bhrgur aham girām asmy eka aksaram, Yajñānām japa-yajño’smi sthāvarānām himālayah. (Bhagavad-gita, X.25)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-benar-lawan-benar

Di antara maharsi Aku adalah Bhrigu, di antara aksara suci Aku adalah eka aksara, di antara upacara yadnya, Aku adalah Japa, di antara benda mati Aku adalah Himalaya.

TEKS seperti di atas berupaya memberikan gambaran kepada kita tentang keagungan dari Sang Sangkan Paran. Teks mencoba menarasikan hal-hal ultimate alam semesta yang masih bisa dipersepsi oleh manusia. Hal-hal yang disepakati sebagai puncak dari sebuah keadaan, situasi, benda atau sesuatu lainnya dijadikan sebagai contoh sehingga pikiran kita memiliki gugusan pemahaman tentang keagungan Beliau. Seperti misalnya secara praktis teks di atas, ketika menyebut Maharsi, diyakini ada dari mereka yang paling dimuliakan. Di antaranya, Bhrigu menempati posisi puncak. Saat menyebut aksara, di antara semua aksara yang ada, eka aksara Om diyakini sebagai yang tertinggi. Di antara yadnya, japa adalah puncaknya. Di antara benda-benda alam, Himalaya diyakini paling dimuliakan. Dengan menyebutkan semua itu, maka pikiran kita akan tergugah bagaimana Agungnya Beliau.

Namun, teks di atas ketika dipraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit akhirnya menimbulkan masalah. Bukan teks-nya yang bermasalah, tetapi manusia tersulut oleh teks tersebut sehingga bermasalah. Maksudnya, karena teks diyakini memiliki otoritas atas kebenaran, maka teks di atas bisa dijadikan sebagai standar untuk menilai sebuah proses, atau bisa juga dijadikan sebagai pegangan untuk sebuah tindakan, atau sebagai alat justifikasi bahwa tindakan yang dilakukan telah benar. Mari ambil salah satu dari empat pengandaian di atas, seperti, ‘di antara yadnya, Aku adalah Japa’. Yang satu ini saja memunculkan banyak masalah. Harus diakui, bahwa teks di atas bersifat otoritatif atas kebenaran sehingga bisa dijadikan sebagai standar, pegangan atau alat justifikasi. Di mana masalah dari pernyataan tersebut? Tentu tidak ada masalah. Tetapi mengapa dikatakan bermasalah? Oleh karena manusia yang mengerjakannya bermasalah. Seperti apa?

Seperti ini: Saat teks menyebut, ‘Di antara yadnya, Aku adalah Japa’, maka kita berpikir, bahwa japa adalah bentuk yadnya yang tertinggi. Oleh karena japa adalah yang tertinggi, maka kita mestinya melakukan yadnya jenis ini. Dan, oleh karena kita telah melakukan yadnya yang tertinggi, tentu kita tidak memerlukan jenis yadnya yang lain. Bahkan, atas pemahaman tersebut, kita kemudian membawanya ke ranah idealis politis, ingin mengajak orang lain mengerti dan menjadi sadar bahwa japa adalah yadnya yang tertinggi dan tidak perlu melakukan jenis yadnya lainnya. Pemahaman ini kemudian menghadirkan kelas, ada yadnya kelas bawah dan ada kelas tinggi. Konsekuensinya, oleh karena kita telah melakukan yadnya tertinggi, dan ego tiba-tiba menyusup di dalamnya, maka saat ada teman atau orang lain melakukan yadnya tetapi bukan japa, kita cenderung mengejek, ‘mengapa lagi melakukan yadnya jenis seperti itu, sementara ada jenis yadnya yang tertinggi!’ Di sinilah masalahnya.

Kita merasa paling hebat, paling religius, paling spiritual karena telah melaksanakan yadnya tertinggi setiap hari dan menjadi representasi dari Keagungan Sangkan Paran. Karena kita telah menjadi ‘paling’ seperti itu, maka kita dengan mudahnya meremehkan jenis yadnya lain dan berupaya mengajak orang lain mengikuti sebagaimana yang kita kerjakan. Tentu, mereka yang melakukan yadnya tidak dalam konteks ‘japa’ itu akan bereaksi, tidak mau diubah, dan bahkan melawan. Kita kemudian mengambil dalih dengan menyebut bahwa teks telah menyatakan demikian, dan karenanya, kebenarannya tidak bisa dibantah.

Keributan tidak bisa dihindarkan. Yang pertama merasa benar, karena telah melaksanakan yadnya tertinggi dan berupaya menyadarkan orang lain agar melakukan yadnya yang sama. Yang kedua menolak karena tradisi telah mewariskan bentuk yadnya secara turun-temurun. Tidak mungkin leluhur ngawur membangun yadnya. Jadi, yang kedua juga merasa benar bahwa melestarikan tradisi beryadnya sebagaimana leluhur lakukan adalah sesuatu yang mulia dan bertuah. Keduanya saling bertahan dengan kebenarannya masing-masing.

Menengahi hal tersebut, apakah mungkin keributan itu tidak ada? Tentu mungkin jika mereka sama-sama bisa menahan diri. Dan, keributan itu tidak akan pernah muncul hanya jika mereka memahami secara lebih luas tentang ‘Japa’ itu. Jika pemahaman tentang ‘Japa’ diperluas, tidak hanya sekadar bentuk, maka tidak akan pernah ada masalah dengan jenis yadnya yang berbeda, apakah dengan mengulang-ulang nama Tuhan dengan japamala atau dengan jenis lainnya. Yang terpenting di sana adalah bagaimana kesadaran kita selamanya berada di dalam Sangkan Paran melalui media yadnya yang kita lakukan dengan beragam bentuk. Kesadaran diri yang sepenuhnya berada di dalam Nama Sangkan Paran adalah japa. *

I Gede Suwantana

Komentar