nusabali

Dari Veteran, Seniman, Hingga Yajamana

Jejak Pengabdian Ida Pedanda Gede Jelantik Karang

  • www.nusabali.com-dari-veteran-seniman-hingga-yajamana

Tekadnya hanya satu, mengusir penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan demi tegaknya NKRI.

AMLAPURA, NusaBali

Ida Pedanda Gede Jelantik Karang dari Geria Karang, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem, lebar pada usia 97 tahun, di Geria Karang, Redite Umanis Ukir, Minggu (12/9) pukul 08.45 Wita. Saat walaka (belum bergelar pendeta), Ida Pedanda adalah sosok krama Bali Yang energik.

Ida Pedanda saat walaka bernama Ida Made Putra Sari, sempat menjadi veteran perang, seniman tari klasik, hingga sulinggih yang dikagumi umat. Semua pengabdiannya dijalani penuh ikhlas.

Begitu gigih berjuang, di zaman revolusi fisik, puncaknya saat perang di Banjar Tanah Aron, Desa Bhuana Giri, Kecamatan Bebandem, Karangasem tahun 1946. Saat itu, Ida Made bergabung dalam pasukan Ciung Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai, tidak pernah memikirkan akan dapat imbalan. Tekadnya hanya satu, mengusir penjajah untuk  mempertahankan kemerdekaan, demi tegaknya NKRI.

Begitu juga usai berperang, terjun di masyarakat sebagai seniman tari klasik, melestarikan seni melalui beraktivitas berkesenian, sebagai penari, gambuh, topeng, arja, parwa dan drama, untuk menghibur masyarakat, juga digunakan sarana ngayah. Kepuasannya yang didapat setelah mampu menghibur masyarakat. Selama jadi sulinggih, mampu melayani umat, muput upacara, dan sering dipercaya jadi yajamana karya.

"Kesemuanya itu dijalani secara ikhlas oleh Ida (sebutan untuk almarhum,Red), tanpa pamrih, begitu pesan beliau," ujar putra almarhum Ida Wayan Oka Adnyana, di rumah duka, Geria Karang, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Sabtu (18/9).

Ida Made Putra Sari, dilahirkan sebagai putra ke-4 dari 8 bersaudara pasangan Ida Wayan Tangi dan Ida Ayu Ketut Suter, dari keluarga pragina. Darah seni mengalir, sehingga dengan mudah aktif berkesenian.

Pengabdiannya selama jadi sulinggih, secara fisik terbilang cukup kuat melayani umat sedharma, terutama saat musim upacara piodalan, ngaben, ngeroras dan karya mamungkah lan nubung daging. Muput upacara sambung menyabung dari pukul 06.00 Wita hingga kembali ke Geria Karang tiba pukul 04.00 Wita keesokan harinya.

Selanjutnya pukul 06.00 Wita sehari setelah muput upacara, tetap bisa menggelar ritual nyurwa sewana di Merajan. Hal itu dijalani sejak disulinggih tahun 1992.

Umat yang sembahyangnya sempat dipuput Ida Pedanda Gede Jelantik Karang, mengakui setiap maweda (mapuja) dengan suara genta, mampu menghadirkan keheningan hingga menambah khusyuk upacara. Sebagaimana dalam tradisi puja Hindu di Bali, genta dikenal sebagai senjata sakti Dewa Iswara, yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi sebagai penguasa suara. Kesaktian dan kekuatan genta terletak pada nada yang dikeluarkan.

Ida Pedanda Gede Jelantik Karang terkenal mahir, menyuarakan genta itu. Terlebih lagi suara yang dikeluarkan, melambangkan nada Brahman, atau nada Tuhan, karena alam ciptaan Tuhan, maka nada genta juga dikatakan sebagai perlambang nada semesta. Sejak tahun 1992 hingga 2021, nada Tuhan itu dikumandangkan Ida Pedanda berusia 97 tahun.

Ida Pedanda Gede Jelantik Karang juga sering jadi Yajamana (sulinggih penanggungjawab karya) jelang Karya Mamungkah Lan Nubung Daging, dengan melakukan ritual Nyukat Genah Upacara. Bidang ini dilakoni jika seorang sulinggih telah menguasai ilmu rancang bangunan Asta Kosala Kosali, Asta Bumi, Wismakarma, Sang Hyang Anala dan sebagainya.

Misalnya, untuk membangun genah linggih Banten Catur, mesti tepat lokasi dan ukurannya, sesuai sipat siku-siku. Sebab linggih catur merupakan yang maha utama di setiap upacara Karya Mamungkah Lan Nubung Daging, sebagai lambang kemahakuasaan Tuhan yang lebih lazim disebut Cadu Sakti. Yakni Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa, Tuhan sebagai Yang Maha Kerja, Tuhan sebagai Yang Maha Ada dan Tuhan sebagai Yang Maha Tahu. Di dalam linggih catur yang dibuat Ida Pedanda itu, juga sebagai lambang hadirkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, secara fisik.

Mantan Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri mengakui, pasca Ida Pedanda lebar, dirinya dan masyarakat Hindu Bali umumnya, telah kehilangan tokoh besar. Selama ini Ida Pedanda dikenal suntuk melayani umat sedharma. Mas Sumatri teringat saat menggelar upacara Mamukur tahun 2014 di Jro Subagan, Lingkungan Gede, Kelurahan Subagan, Karangasem. Saat itu, Ida Pedanda Gede Jelantik Karang secara spontan datang memantau lokasi upacara, melakukan upacara nodia. Kedatangannya secara spontan membuat krama setempat kaget.

Ida Pedanda Jelantik Karang juga telah bergelar abrasinuhun, karena telah memiliki 13 oka didarma (sulinggih berkat perguruan almarhum,Red) dan 5 putu didarma. Terakhir napak, menjadi guru nabe saat Ida Pedanda Gede Made Jelantik Gotama, menjalani upacara Diksita (prosesi mengangkat sulinggih) di Geria Tubuh, Banjar Abang Jeroan, Desa/Kecamatan Abang, Karangasem, Wraspati Wage Watugunung, Purnama Kawulu, Kamis (28/1).

Ida Wayan Oka Adnyana memaparkan, sesuai paruman keluarga besar di Geria Karangasem, upacara Maca Mana untuk roh Ida Pedanda akan digelar Buda Kliwon Gumbreg, Rabu (6/10). Selanjutnya setiap hari Purnama dan Tilem, menggelar upacara Ngaturang Rayunan Pemurnamaan dan Penileman. Berlanjut palebon, Sukra Umanis Merakih, Jumat (31/12).

Istrinya, semasih walaka bernama Ida Ayu Wayan Karang, setelah sulinggih Ida Pedanda Istri Wayan Karang, telah lebar jauh sebelumnya tahun 1997.

Almarhum meninggalkan 6 anak, dan 12 cucu, keenam anak kandungnya adalah: Ida Ayu Wayan Putra, Ida Ayu Karang Adnyani Dewi, Ida Ayu Ketut Citrawati, Ida Wayan Oka Adnyana, Ida Made Jelantik Anyar dan Ida Ayu Nyoman Jelantik Muliani Dewi. Almarhum lahir 31 Desember 1924, pendidikan SR (Sekolah Rakyat) Karangasem tahun 1937.*nant

Komentar