nusabali

Desa Adat Benteng Kebangkitan Desa Wisata

  • www.nusabali.com-desa-adat-benteng-kebangkitan-desa-wisata

Karena, Covid-19 belum lenyap, pada saat yang sama desa adat menjadi benteng terdepan dalam menata atur ragam cara pencegahan penularan pandemi.

GIANYAR, NusaBali

Desa wisata belakangan ini menjadi salah satu tren wisata alternatif di Bali, bahkan nusantara. Karena model wisata ini sangat memungkinan bangkit di tengah pandemi, menyusul penurunan kasus Covid-19. Namun pariwisata ini sangat efektif jika digerakkan oleh desa adat sebagai benteng utama berplat form digital terutama dalam promosi.

Hal itu terungkap dalam Focus Group Disccussion (FGD) Diseminasi dan Sosialisasi Kebijakan Desa Wisata Digital dan Tangguh Bencana (Dewata) di Desa Adat Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. FGD digelar dalam  Wantilan Pokdarwis Desa Bedulu di Banjar Tegallinggah, Sabtu (18/9) pagi.

FGD melibatkan Kasubbid Pencegahan, Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Provinsi Bali Chassario Maraden, Sekdis Pariwisata Gianyar  Pande Putu Ayu Sri Ratnawati Spt Msi. Perbekel Bedulu I Putu Ariawan, Bendesa Asat Tegallinggah I Ketut Reman, Ketua Yayasan Sucen Wisata Tegallinggah, merangakap Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Bedulu I Putu Umbara, dan perwakilan sekaa teruna-teruni Desa Adat Tegallinggah. FGD juga melibatkan tim peneliti dari UNHI  dan Universitas Udayana Denpasar, yakni Ketua Tim Dr Putu Yudy Wijaya SE MSi, Dr Ni Nyoman Reni Suasih SIP MSi, Dr I Putu Sastra Wibawa SH MH, Kadek Oky Sanjaya SPd Mkom, dan I Komang Triyana Mertayasa.

Ketua Tim Dr Putu Yudy Wijaya menjelaskan kebangkitan desa wisata sangat penting di Bali hingga menarik untuk dijadikan bahan kajian. Karena, 63 persen perekonomian Bali bertumpu pada pariwisata. Namun pandemi yang memporakporandakan Bali sejak Maret 2020, menjadikan segenap sektor terutama pariwisata terpuruk. Di lain sisi, bagi Bali pariwisata telah menjadi domain utama kehidupan masyarakat Bali. Oleh karena itu, melirik ke sektor lain tentu tak mudah.

Sebagai peneliti, dia melihat ada cahaya harapan bahwa pariwisata Bali terutama desa wisatanya bisa bangkit di tengah pandemi.  ‘’Keyakinan kami, di tengah pandemi ini, desa wisata akan makin bangkit karena digerakkan oleh desa adat, sebagaimana di Tegallinggah,’’ jelas dosen Fakultas Ekonomi Bisnis dan Pariwisata UNHI Denpasar ini.

Yudy Wijaya menyebutkan wisata berbasiskan desa adat tentu punya sejumlah keunggulan. Karena, Covid-19 belum lenyap, pada saat yang sama desa adat menjadi benteng terdepan dalam menata atur ragam cara pencegahan penularan pandemi. Terbukti, sebagaimana dikoordinasikan oleh pemerintah dan segenap jajarannya di Bali, banjar dan desa adat wajib diaktifikan dalam pengendalian abah tersebut. Selebihnya, krama (warga) desa adat yang amat tahu potensi wisatanya berupa, seni budaya, tradisi, dan alam di sekitar. Dengan wisata berbasis desa adat, papar dia, setidaknya wisatawan lokal/domestik akan bisa digarap lebih berhasil dan berdaya guna atau efektif dan efisien . Objek wisata desa juga lebih terjangkau baik secara anggaran dan jarak. Kebangkitan wisata ini pasti berdampak pemberdayaan ekonomi masyakaat, antara lain kuliner khas desa, pengelolaan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya lainnya. ‘’Tapi syaratnya, protokol kesehatan (prokes) itu mutlak diterapkan,’’ jelas doktor ekonomi asal Banjar Gelulung, Desa/Keca
matan Sukawati ini.

Bendesa Adat Tegallinggah I Ketut Reman mengatakan meski terdampak oleh pandemi Covid-19, krama Desa Adat Tegallinggah tetap optimis untuk bangkit melalui pariwisata. Terbutki krama adat intens menjalani kehidupan tanpa mengabaikan aspek lingkungan, kebersihan, dan perilaku positif lain. Bahkan secara khusus krama di Tegallinggah sudah membuat atraksi wisata tubing, menjalin kerja sama pengelolaan Objek Wisata Candi Tebing Tegallinggah dengan Pemkab Gianyar. Namun dua objek ini masih sepi kunjungan karena deraan pandemi. ‘’Kami di desa adat optimis bahwa desa wisata ini akan bangkit, dan kami sudah siap 80 persen dalam menggarap pariwisata desa ini,’’ jelasnya.

Terkait pencegahan pandemi ke depan, papar Ketut Reman, Desa Adat Tegallinggah relatif beruntung. Karena di wilayah desa adat ini hanya ada dua jalan keluar-masuk, dari arah timur dan barat. Ada jalan memanjang ke arah utara, namun buntu. Dengan itu, pecalang lebih mudah mengawasi jika ada hajatan upacara adat dan agama. Saat upacara piodalan di pura desa, pecalang dibantu anggota sekaa teruna-teruni membagi pamedek  (warga bersembahyang) tiap 50 orang sekali sembahyang. Oleh karena itu, kerumunan yang dapat memicu penyebaran pandemi, bisa dikendalikan. ’’Yang agak sulit ditebak kerumunannya jika ada upacara perkawaninan krama. Tapi kami selalu wanti-wanti kepada krama, agar mereka tetap waspada dengan pandemi ini,’’ jelasnya.  

Yudi Wijaya menambahkan, FGD ini merupakan salah satu dari rangkaian riset bidang penanggulangan kebencanaan dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bekerja sama dengan Dikti Kemendikbud RI. Hasil riset ini nantinya akan dipakai salah satu rujukan oleh BNPB dalam penanggulangan bencana pandemi Covid-19 di tengah pergerakan ekonomi masyarakat.*lsa

Komentar