nusabali

Tradisi Bali Tak Tersentuh Efek Kupu-kupu

  • www.nusabali.com-tradisi-bali-tak-tersentuh-efek-kupu-kupu

Mengubah suatu kebiasaan dapat menimbulkan kegundahan. Seperti mengubah kebiasaan masa lalu dengan dalih penyederhanaan akan dinilai menjarah kearifan lokal.

Penyederhanaan ritual sepertinya kurang memeroleh dukungan, karena penyederhanaan dimaknai tidak menghormati keartifan lokal atau tidak patuh pada tradisi masa silam. Mereka ini mungkin terinspirasi efek kupu-kupu (butterfly effect), perubahan sekecil apapun akan menimbulkan konsekuensi di kemudian hari!

Edward Norton Lorenz, seorang profesor dari Institut Teknologi Massachusset, menggagas efek kupu-kupu sebagai ketergantungan pada kondisi awal, kebiasaan masa lalu atau tradisi turun temurun. Pemikirannya bahwa perubahan kecil pada suatu sistem non-linear akan dapat mengakibatkan perbedaan besar terhadap keadaan kemudian hari!

Ia adalah seorang ahli di bidang meteorologi. Untuk mempercepat pekerjaannya, ia membulatkan enam angka di belakang koma, yaitu …506127 menjadi …506! Ketika membuat kurva dengan enam angka di belakang koma yang belum dibulatkan, kurvanya berhimpit. Ketika ia membuat hal serupa dengan angka yang dibulatkan, ia menemukan hal yang mengejutkan, kurva yang semula berhimpit lambat laun menyimpang dari seharusnya dan malahan membentuk suatu pola indah mirip sayap kupu-kupu! Kurang lebih maknanya, perubahan kecil di awal akan dapat membuat perubahan besar yang menyimpang dari aslinya! Fenomena inilah yang diistilahkan sebagai efek kupu-kupu.

Efek kupu-kupu tidak sepenuhnya menjarah tradisi Hindu di Bali. Ketika Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali dengan variasi dan dekorasi pada berbagai jenis banten dengan menambahkan daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan, seperti pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Ragam banten yang diciptakan, antara lain: canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Perubahan yang diinisiasi oleh  Mpu Sangkulputih tidak menyebabkan situasi ritual krama Hindu Bali menjadi carut marut atau kaotik!

Pada masa Bali Kuna, sembilan sekte eksis, seperti sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha Mahayana tiba di Bali. Dalan suatu simakrama yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu : Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan,  Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru, dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga.

Dalam simakrama tersebut Mpu Kuturan membahas penyederhanaan keagamaan di Bali. Tatkala itu, semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Terbukti penyederhanaan keagamaan tidak menimbulkan gejolak, bahkan sebaliknya menenteramkan kehidupan keagamaan Hindu di Bali!

Perubahan lainnya dimotori oleh Danghyang Dwijendra, yang datang di Bali pada abad ke-14, ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau memiliki pemikiran cemerlang tentang konsep Tripurusa, pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Mpu Kuturan mengonsep Trimurti sebagai  pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal. Konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.

Ketika itu, Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, awig-awig pakraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kakawin. Jadi, pergeseran konsep pemujaan tidak sepenuhnya mengubah atau menghilangkan keyakinan krama Hindu.

Semasa pandemi, penyederhanaan pelaksanaan panca yadnya tidak seharusnya direaksi negatif, dinafikan dengan berbagai alasan yang tidak etis-religius. Pembatasan dan penyederhanaan dilakukan untuk menjamin keharmonisan tiga hubungan, antara Sang Kausa Prima-Manusia-Alam Lingkungan, seperti terkonsepsikan dalam Tri Hita Karana. Perubahan kecil ini tidak mesti ditakutkan akan melunturkan kearifan lokal, tidak mendegradasi keyakinan Hindu, apalagi menghegemoni keyakinan beragama dengan kekuasaan atau modernisasi. *

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.

Komentar