nusabali

MUTIARA WEDA: Nurani

Yatkarma krtvā kurvamśca karisyamścaiva lajjati, Tajjñeyam vidusā sarvam tāmasam gunalaksanam. (Manusmrti 12.35)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-nurani

Jika hati nurani merasa bersalah melakukan sebuah tindakan, maka tindakan itu berdosa atau tamasik.

ENTITAS psikologis manusia menurut teks-teks Tattva hanya terdiri dari tiga komponen, yakni buddhi, ahamkara, dan manah. Buddhi adalah aspek kecerdasan, ahamkara adalah aspek identitas (aku), dan manah adalah reservoir (memori). Komponen psikologis hanya tiga disebutkan, yang merupakan elemen sadar (citta), dan ketiga inilah yang mengendalikan kerja indriya. Ketiga entitas ini beserta citta-nya disebut dengan pikiran. Jika demikian, ketika orang menyebut feeling (rasa), nurani, jiwa, niat, keinginan, dan kesadaran, apa semua itu? Apakah semua itu bukan sebuah entitas? Jika itu semua adalah entitas, lalu mengapa tidak disebutkan sebagai tattwa? Apa yang dimaksudkan dengan feeling, nurani, jiwa, dan yang lainnya selama ini sering disebutkan? Seperti misalnya beberapa kalimat yang sering diucapkan: feeling saya mengatakan bahwa orang itu baik; dengarkan nuranimu, pasti kau akan berada pada jalan yang benar; orang itu jiwanya sedang sakit; tidak punya kesadaran sama sekali orang itu, sukanya buang sampah sembarangan; segala sesuatu bisa terjadi oleh karena niat; banyak sekali keinginan orang itu, dan lain sebagainya.

Oleh karena bukan termasuk tattwa, maka dipastikan itu bukan sebuah entitas. Jika bukan sebuah entitas, lalu bagaimana kita bisa menegasikan keberadaannya? Tentu semua itu tidak bisa dinegasikan. Lalu apa? Semua itu pada prinsipnya adalah kerja pikiran, hanya saja kodifikasinya yang berbeda, sehingga salurannya juga berbeda. Apapun sebuah tindakan yang melibatkan kesadaran adalah kerja pikiran, sebab pikiran adalah aspek sadar dalam tubuh, yakni bahan prakrti yang dimasuki kesadaran (citta). Pikiran memiliki kesadaran terbatas karena telah terbatasi oleh prinsip kerja prakrti. Intensitas dari kerja pikiran inilah yang membuat ada berbagai saluran yang berbeda seperti feeling, nurani, jiwa, niat, keinginan, dan yang lainnya.

Seperti misalnya ketika orang menyebut feeling, pada prinsipnya ini adalah kerja pikiran. Feeling lebih mengarah pada kerja pikiran yang minimal rasio (proses berpikir). Ketika kerja pikiran yang tidak diganggu oleh vrtti (gerak) pikiran dan memori, maka itu adalah feeling. Pikiran yang langsung terhubung dengan aspek subjektif dari benda-benda yang ditujunya adalah feeling. Secara rasional maupun empiris, seseorang bisa saja ragu, tetapi ketika feeling bekerja, maka rasa itu bisa melawan keraguan tersebut. Ini artinya, pikiran sedang terhubung langsung dengan objek yang ditujunya.

Setiap benda (matter) atau objek memiliki sisi subjektivitasnya, dan inilah yang terhubung dengan pikiran, sehingga feeling itu terasa sangat kuat. Feeling ini berdekatan dengan nurani dan bahkan bisa dikatakan prinsip kerjanya sama. Saat pikiran memenetrasi objek atau sebaliknya objek memenetrasi pikiran, di mana pikiran terbebas dari memori dan vrtti-nya, maka ini disebut feeling. Ketika pikiran dibiarkan bekerja secara alami terbebas dari memori dan vrtti-nya, maka ini adalah nurani. Makanya, ketika orang menyebut ‘dengarkan dengan nuranimu, maka engkau akan mengenali mana yang benar dan mana yang tidak benar’, atau bisa juga seperti teks di atas ‘jika nurani merasa bersalah, maka perbuatan itu pasti sebuah dosa’.

Bekerja dengan nurani artinya bekerja selaras dengan prinsip alam. Kerja semesta itu telanjang, apa adanya, dan yang disebut kebenaran. Berbeda dengan kerja pikiran yang diselimuti oleh berbagai memori yang telah melekat, berbagai tendensi, keinginan, dan yang sejenisnya yang mengkorup realitas.

Pikiran yang berbalut dengan memori-memori, berbalut dengan tendensi-tendensi tertentulah yang membuat kebenaran itu kabur. Sehingga dengan demikian, jika ada sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dinyatakan salah dan yang memutuskan bahwa tindakan itu salah adalah semata-mata fungsi pikiran yang dimotori oleh memori dan vrtti-nya, maka ‘belum tentu’ tindakan itu salah. Mengapa? Karena tidak tertutup kemungkinan memori dan tendensi dari vrtti pikiran tidak objektif menilainya. Berbeda dengan kerja pikiran yang ‘memory and vrtti free’ atau disebut dengan nurani, arahnya dipastikan benar, karena nurani terhubung dengan prinsip kebenaran itu sendiri. *

I Gede Suwantana

Komentar