nusabali

Pagerwesi di Buleleng, Tak Hanya Mamunjung

  • www.nusabali.com-pagerwesi-di-buleleng-tak-hanya-mamunjung

SINGARAJA, NusaBali
Krama Buleleng memiliki kebiasaan berbeda dalam hal merayakan hari raya Pagerwesi. Hari raya yang jatuh pada Buda Kliwon Sinta ini menjadi hari suci yang dirayakan penuh meriah oleh krama di Buleleng.

Kemeriahan ini menyerupai perayaan Galungan yang jatuh pada Buda Kliwon Dungulan dan Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan. Seperti tampak pada perayaan Pagerwesi, Rabu (1/9) lalu. Tak hanya mamanjung (menyuguhkan penganan suci kepada roh di kuburan). Kemeriahan perayaan hari raya Pagerwesi mulai terasa saat ibu-ibu rumah tangga mulai sibuk menyiapkan berbagai macam sarana upacara pada Penyajaan Pagerwesi, Senin (30/8) lalu. Sejumlah jejaitan canang, hingga prosesi Nyekeb Biu (mematangkan pisang) dilakukan hari itu. Lalu kesibukan berlanjut keesokan harinya pada Penampahan, Selasa (31/8). Kini giliran krama lanang (bapak dan anak laki-laki) sibuk menyiapkan hidangan khas hari raya. Mulai dari lawar, jukut hingga hidangan daging lainnya pertanda perayaan. Hingga puncak hari raya Pagerwesi yang jatuh pada Buda Kliwon Sinta, Rabu (1/9), seluruh anggota keluarga menghaturkan sembah bakti ke snaggah dadya, merajan, kompyang hingga membawa punjung (soda) ke setra.

Rutinitas tahapan hari raya yang dilakukan menjelang hingga hari raya Pagerwesi seperti berkumpul bersama seluruh keluarga, perantauan pulang kampung yang membuat seolah seperti perayaan Galungan.

Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja I Nyoman Suka Ardiyasa, menjelaskan  secara filosofi hari raya Pagerwesi merupakan hari pemujaan Sang Hyang Paramasti Guru, yang diiringi Dewata Nawa Sanga. Hari raya Pagerwesi pun merupakan rangkaian hari raya Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan yang jatuh pada akhir wuku, Saniscara Umanis Watugunung.

Hari turunnya ilmu pengetahuan merupakan awal rangkaian. Kemudian dilanjutkan pada Redite Paing Sinta, adalah hari Banyupinaruh, pembersihan diri. Keesokan harinya, Soma Pon Sinta disebut sebagai hari Soma Ribek, simbol kesuburan dan berbagai kemakmuran lainnya. Pada Anggara Wage Sinta disebut hari Sabuh Emas yang berkaitan dengan kemakmuran manusia. Hingga akhirnya pada Buda Kliwon Sinta merupakan hari raya Pagerwesi.

“Sesungguhnya hari Saraswati, Soma Ribek dan Sabuh Emas, Pagerwesi menjadi kesatuan. Filosopisnya, sebagai manusia pengetahuan itu dijadikan landasan untuk menjalani 30 wuku ke depan dengan selalu mawas diri dan memagari diri seperti pagar besi,” ucap Suka Ardiyasa.

Menurutnya, perayaan kemeriahan Pagerwesi di Buleleng hanya terfokus dari wilayah Buleleng tengah (wilayah kota) hingga Buleleng timur. Sedangkan perayaan Pagerwesi di Buleleng barat lebih landai alias biasa-biasa saja, atau sama seperti di Bali selatan.  “Ada pengaruh geografis. Buleleng timur dapat pengaruh Siwa Pasupata, sedangkan Buleleng barat pengaruh Buda Mahayana, sehingga ada perbedaan tradisi,” jelas dia.

Sementara itu, penyusun kalender Bali asal Buleleng I Gede Marayana menyebut, perayaan hari raya Pagerwesi dinilai istimewa di Buleleng, karena pemahaman dan pegangan memaknai hari besar. Penentuan hari raya di Bali menurut Marayana sangat dipengaruhi oleh wariga.

Pemahaman wariga oleh leluhur dan tokoh ternama di Buleleng seperti Gusti Bagus Sugriwa dan Ketut Kajeng, hari besar di Bali mengacu pada pertemuan antara sapta wara dengan panca wara. Hari raya di Bali, sebut Marayana, didominasi jatuh pada Buda Kliwon, Anggara Kliwon, dan juga Buda Wage.

Pagerwesi dinilai istimewa karena selain jatuh pada Buda Kliwon pada awal wuku dari 30 wuku selama enam bulan Bali ( 210 hari). “Perayaan Pagerwesi di Buleleng kembali mengacu pada wariga-wariga di Bali. Menganalisa tatanan hari raya Hindu Bali, itu lebih dominan mengacu pada rerahinan Buda Kliwon, Saniscara, Buda Wage, dan Anggara Kliwon,” jelas Marayana. *k23

Komentar