nusabali

Di Renon, Ngayah Mebat Diambang Punah

  • www.nusabali.com-di-renon-ngayah-mebat-diambang-punah

Tradisi krama Bali membuat adonan berupa lawar dan sate untuk sarana banten (upakara) atau mebat khususnya di wilayah perkotaan, makin pudar.

Di Desa Pakraman Renon, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, misalnya tanda-tanda pudarnya tradisi ini malah sejak sekitar tahun 1979.


Setiap menjelang piodalan untuk palinggih di balai banjar maupun Pura Khayangan Tiga, lawar maupun sate untuk sarana upakara disiapkan dengan cara membeli. ‘’Pembelian ebatan banten dari sebelumnya ngayah mebat ini karena dinilai lebih praktis, bersih dan diklaim lebih hemat,’’ jelas Bendesa Pakraman Renon I Made Sutama BE saat ditemui di kediamannya di Banjar Kelod, Desa Pakraman Renon, Rabu (4/1).

Dikisahkan Sutama, semangat maebatan di Renon cukup tinggi ketika lawar penyu masih eksis. Namun sejak penyu dilarang untuk dijadikan lawar, tradisi mebat mulai hilang. Mebat bersama di Renon masih bertahan setahun sekali yakni menjelang Upacara Pamalastian terkait Hari Suci Nyepi. Mebat pada saat Panampahan Galungan dan Kuningan, masih berjalan seperti biasa di rumah krama masing-masing.

“Seingat saya, setelah saya menikah tahun 1979 tradisi mebat di banjar sudah tidak ada lagi. Persiapan lawar, sate dan lainnya untuk keperluan piodalan di Pura Banjar maupun Khayangan Tiga dibeli yang sudah jadi. Selain waktu lebih efisien, jatuhnya juga lebih murah daripada mebat bersama,’ jelasnya.

Alasan lain membeli ebatan karena lahan semakin sempit. Tidak ada tempat yang cukup untuk krama melakukan kegiatan nampah. Bendesa sejak tahun 2005 ini menyatakan, pilihan untuk membeli ebatan juga karena didukung keberadaan para pedagang lawar yang menerima order lawar, sate dan hal terkait untuk kegiatan piodalan. Bahkan tak saja untuk piodalan, kelengkapan lawar untuk upacara perkawinan, tiga bulanan, otonan pun bisa dilayani. “Untuk 3 bulanan, guling kebanyakan beli yang sudah jadi. Di Denpasar saya pikir, sudah jarang ada tradisi mebat ini,” ujarnya.

Meski demikian, semangat gotong royong dalam balutan suasana ngayah tetap dikatakan masih eksis. Untuk pangayah lanang (krama laki-laki, Red) biasanya pada H-2 Piodalan. Pekerjaannya masang wastra, membuat penjor, mararesik, dan lainnya. Sedangkan pengayah istri, biasanya mulai ngayah pada H-3 diawali dengan majejaitan, matanding dan terakhir manjahang banten. “Yang digarap oleh pengayah antara lain berupa sampian busung yang tampilannya harus tetap segar saat piodalan berlangsung. Sedangkan beberapa perlengkapan lainnya dominan dibeli, seperti taledan, ceper, srobong daksina dan lain-lain. Jadi semangat ngayah majejaitan itu tetap ada,” jelas Bendesa pemimpin 716 KK di 4 banjar se- Desa Pakraman Renon ini.

Sementara itu, derasnya arus urbanisasi di Denpasar berdampak sangat signifikan pada jumlah penduduk pendatang di Renon. Bahkan perbandingannya cukup memprihatinkan yakni 1 : 5. Satu penduduk asli, berbanding 5 penduduk pendatang. “Data tahun 2010 mencatat ada total 3.428 KK yang tinggal di Desa Pakraman Renon. Dikurangi penduduk asli yang cuma 716 KK, artinya ada 2.000 lebih KK yang notabene penduduk pendatang,” ungkapnya. Dari luas wilayah 254 hektare, sebanyak 180 hektare merupakan lahan pemukiman penduduk, untuk fasilitas social dan fasilitas umum, serta 74 hektare merupakan lahan pertanian dan masuk kawasan jalur hijau. “Tapi tak bisa kita pungkiri, lahan hijau saat ini hanya tersisa 54 hektare. Prediksinya, 20an hektare jalur hijau telah dilanggar,” ungkapnya. Desa Pakraman Renon dengan 716 KK tersebar di 4 banjar yakni Banjar Peken, Pande, Tengah dan Kelod. * nvi

Komentar