nusabali

Tulis Gidat

  • www.nusabali.com-tulis-gidat

INI kisah lama, tentang dua lelaki yang berkarib ketika mereka duduk sebangku di SMA: Gede Jana dan Putu Suparsa.

Aryantha Soethama


Pengarang

Di awal 1970-an, mereka pergi-pulang sekolah bersama, jalan kaki. Karena tinggal berdekatan di Desa Kemoning, Klungkung, mereka satu arah, seiring sejalan. Suparsa tingal lebih jauh, sehingga kalau berangkat sekolah lebih sering Jana yang menunggu, duduk di bawah pohon bambu.

Selepas SMA, mereka berselisih tujuan. Jana ke Fakultas Ekonomi, Suparsa ke Fakultas Keguruan. Di zaman itu, mereka cuma berkabar lewat surat, itu pun kadang-kadang. Mereka tinggal di kota yang berjauhan. Jana di Malang, Suparsa di Singaraja. Tak mudah mencari hari sama berlibur barengan mudik ke Kemoning di Klungkung. Masing-masing tenggelam dalam kesibukan sendiri-sendiri.

Menyelesaikan kuliah, Jana bekerja di sebuah pabrik rokok di Kediri. Tapi, ia bercita-cita punya usaha sendiri. “Aku ini magang, Par,” tulis Jana kepada Suparsa. Jana memang lebih ulet dan gigih tinimbang Suparsa yang lebih senang berserah diri, menyerahkan segala sesuatu pada hukum karma. “Bagus itu Ja, siapa tahu magang di pabrik rokok merupakan awal kamu sukses kalau membangun usaha sendiri.”

Suparsa mencoba menjadi guru di SMA. Tapi, begitu ia diterima jadi guru, ayahnya meminta ia pulang kampung, agar bisa mengurus kebun warisan kakek di Desa Besang, masih masuk Kabupaten Klungkung. Tentu, Suparsa menolak saran sang ayah, namun lambat-laun ia mengalah juga. “Tak baik mengingkari keinginan orangtua kita, Ja,” ujarnya ketika ia bertemu karibnya saat pulang sama-sama menikmati Galungan. “Sudah begitu takdirmu,” ujar Jana. “Itu namanya tulis gidat, kata orang Bali.”

“Aku tahu. Meski kita berkarib sejak SMA, tulis gidat kita tak sama.” Jana kemudian mendirikan usaha pakaian jadi. Dia menjadi eksportir garment, punya butik di beberapa kota di Eropa, bekerjasama dengan orang Inggris. Dua bulan sekali dia berkeliling mengurusi butik-butik itu. Waktunya lebih banyak di luar tinimbang di Bali. Ia telat menikah, istrinya 27 tahun lebih muda, wanita Bali yang lama di Garut, Jawa Barat. Mereka punya satu anak, lelaki.

Suparsa akhirnya jadi guru SD, sambil mengurus kebun. Dia guru yang merangkap petani. Pernah jadi kelian adat, punya tiga anak. Istrinya juga guru, mengajar bahasa Bali. Kepada Jana, ia berujar, “Tulis gidat-ku jangan-jangan memang jadi petani. Tahu begitu aku kuliah di fakultas pertanian atau peternakan seperti teman kita Ketut Mangu.”

“Ah, tulis gidat itu tidak mudah membacanya. Siapa yang bisa membaca takdir?” hibur Jana. Ia merasakan, karibnya ingin berkelit dari takdir jadi guru, beristrikan guru. Padahal pekerjaan paling mulia itu guru. Mereka yang ditakdirkan membaktikan hidup berbagi pengetahuan akan memperoleh karma baik, karena yadnya tertinggi menurut ajaran agama adalah ilmu pengetahuan.

Suparsa terbahak mendengar hiburan karibnya. “Tulis gidat-mu lebih bagus, Ja, bisa ke luar negeri sering-sering. Aku? Mengawasi anak-anak nakal, mengurus sapi, ayam, dan kambing.” “Kalau kamu mau ikut ke Eropa, sini kuajak. Atau mau jalan-jalan ke Garut, ayo, aku punya rumah di sana, pemberian mertua. Sekalian kita beli jaket kulit.” “Kalau aku ke Eropa atau ke Garut, siapa mengurus ternakku. Hahaha...”

Orang Bali sangat yakin pada hukum karma, pada sebab-akibat. Ada perbuatan yang dilakukan pada kehidupan masa lalu, dan harus diterima dalam kehidupan kini. Oleh karena itu, tulis gidat adalah suratan takdir yang tak mungkin terhindarkan.

Acap kali kita bersua orang-orang yang bekerja sangat ulet, tapi tak kunjung punya. Banyak yang diperoleh, banyak pula yang dikeluarkan. Ada pula orang yang jadi guru, kemudian banting setir buka warung makan dan usaha katering, kemudian seorang teman memintanya mengurus yayasan pendidikan. Ia pun akhirnya kembali mengajar, jadi guru yang bagus. Usaha katering diurus anak-istri. Orang-orang kemudian berkomentar, “Memang tulis gidat-nya jadi guru.”

Tulis ya berarti tulis, gidat bahasa Bali berarti dahi. Jika Hyang Widhi sudah menuliskan begitu di dahi seseorang, tak mungkin hidupnya menjadi begini, pasti akan begitu. Entah siapa nama dewa yang ditugaskan menulis suratan takdir itu di dahi. Pasti dewa itu bersih dari pungli. Tak bakalan ada yang sanggup menyogoknya, untuk mengubah tulisan itu dari miskin menjadi kaya, misalnya.Tulis gidat itu takdir, terima saja apa adanya. Maka kita pun akan bahagia, begitu orang bijak berujar. *

Komentar