nusabali

Pihak Adat Beri Waktu Dua Pekan untuk Bongkar Bangunan

  • www.nusabali.com-pihak-adat-beri-waktu-dua-pekan-untuk-bongkar-bangunan

Antara Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan dengan pusat meditasi hanya dibatasi tembok panyengker. Pihak adat juga minta sempadan sungai dikembalikan, karena di tempat tersebut diyakini sebagai pusat petirtaan.

Pembangunan Pusat Meditasi di Kubutambahan, Langgar Bhisama  

SINGARAJA, NusaBali
Pembangunan pusat meditasi di Banjar Adat Kaje Kangin, Desa/Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, mengusik ketenangan krama pangempon dan panyungsung Kahyangan Jagat Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan. Lokasi bangunan pusat meditasi itu dengan Pura Puseh Penegil Dharma, tepatnya di sebelah selatannya, hanya dibatasi tembok panyengker. Di samping itu, bangunan pusat meditasi tersebut melanggar Bhisama PHDI tentang kesucian pura, yakni, Apenimpugan Ageng atau sejauh 2 kilometer dari lokasi pura.

Krama dan prajuru adat, pecalang serta aparat desa dinas berpakaian adat madya mendatangi lokasi bangunan meditasi center tersebut, Sabtu (28/5) pagi. Kehadiran krama, prajuru adat, pecalang, dan aparat dinas selain menghentikan pembangunan juga menolak keberadaan pusat meditasi tersebut dibangun berdekatan dengan Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan. Mereka juga meminta agar bangunan yang telah ada dibongkar dalam waktu dua pekan ke depan.

Sebelum bergerak ke lokasi pusat meditasi, seluruh krama, prajuru adat, pecalang, dan aparat desa dinas melaksanakan persembahyangan bersama di Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan. Di lokasi, rombongan krama, prajuru adat, pecalang, dan aparat Desa Kubutambahan, hanya diterima oleh Su Liang yang mengaku ditugasi oleh pihak yayasan yang mengelola pusat meditasi tersebut untuk berjaga di lokasi.

Hadir di lokasi, Penghulu Desa Adat Kubutambahan Jero Pasek Ketut Warkadea, Perbekel Desa Kubutambahan Gede Topan, Camat Kubutambahan Komang Sumertajaya bersama unsur Muspika Kubutambahan.

Informasinya, pusat meditasi itu berada di bawah naungan Yayasan Pasraman Suksema Meditasi Center. Pusat meditasi itu berdiri di atas lahan sekitar 2,5 hektare milik Ketut Sandhiarta, yang disebutkan berasal dari Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan. Konon lahan itu telah dijual kepada seseorang yang berasal dari Solo, Jawa Tengah. Namun Ketua Yayasan Pasraman Suksema Meditasi Center adalah Ketut Sandhiarta. Pintu masuk menuju lokasi berada di jalan menuju SMAN dan SMKN Bali Mandara.

Di lokasi, telah berdiri sejumlah bangunan knock down yang akan dimanfaatkan sebagai penginapan bagi warga yang melaksanakan meditasi. Selain itu sudah berdiri pula bangunan permanen yang kabarnya diperuntukkan sebagai tempat tinggal para biksu. Tidak jauh dari bangunan yang diperuntukkan bagi para biksu, dibangun juga semacam bangunan joglo yang dipakai pusat meditasi. Di lokasi itu juga terdapat sejumlah patung Budha berbagai ukuran.

Bagi krama adat Kubutambahan, pembangunan pusat meditasi itu telah melanggar Bhisama tentang jarak bangunan dengan lokasi pura, dan Keputusan Gubernur Bali Nomor 538 Tahun 1991, tentang ketentuan dan prosedur pembangunan tempat ibadah, dimana setiap pembangunan tempat ibadah harus mendapat izin tertulis dari Gubernur. Masalahnya pembangunan pusat meditasi itu tidak mengantongi izin, apalagi mendapat persetujuan dari pihak adat maupun dinas. Selain itu, bangunan itu melanggar Bhisama karena dibangun dekat dengan Pura Kahyangan Jagat yakni Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan. Lokasi pusat meditasi itu bersebelahan dengan Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan di sisi selatan, dengan posisi lahan lebih tinggi dari lokasi Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan.

“Ini telah melanggar Bhisama PHDI, semestinya di dekat areal Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan tidak boleh ada bangunan apapun. Karena Pura Puseh Penegil Dharma Penyusuhan termasuk Pura Kahyangan Jagat, maka sesuai Bhisama, bangunan hanya boleh berdiri Apenimpugan Ageng atau sekitar 2 kilometer dari lokasi pura,” kata Penghulu Desa Adat Kubutambahan Jero Pasek Ketut Warkadea.

Menurut Penghulu Desa Adat yang juga Kelian Desa Pakraman Kubutambahan Jero Pasek Warkadea, diperkirakan pembangunan itu telah berlangsung dua atau tiga bulan sebelumnya. Namun, pihaknya baru mengetahui karena pihak pemilik lahan maupun yayasan tidak pernah minta izin ke pihak adat maupun desa dinas. “Dua hari lalu baru ada laporan dari warga, kemudian kami rapatkan seluruh prajuru. Diputuskan menghentikan dan menolak pembangunan tersebut, karena sudah jelas tidak mengikuti ketentuan yang ada,” tegas mantan Kadis Kebudayaan dan Pariwisata (Disbupar) Kabupaten Buleleng, ini.

Menurut Warkadea, tuntutan krama adalah membongkar bangunan yang ada, kemudian mengembalikan sempadan tukad (sungai). Karena sempadan tukad itu telah ditutup dan dipersempit, padahal di sempadan tukad itu adalah sumber air yang diyakini oleh krama sebagai pusat petirtaan.

“Kami berikan waktu dua minggu, agar bangunan dan senderan tukad itu dibongkar. Jika tidak, tentu kami harus merapatkan kembali prajuru dan krama,” imbuh Warkadea.

Su Liang yang ditemui di lokasi, tidak mau berkomentar banyak. Dia mengaku akan menyampaikan apa yang menjadi tuntutan Adat Kubutambahan, kepada pihak yayasan. “Biar tidak salah, saya ini hanya disuruh menerima pihak adat. Nanti saya akan sampaikan kepada pihak yayasan. Sekarang Pak Ketut Sandhiarta sedang berada di Australia,” ujarnya. 7 k19

Komentar