nusabali

Janger Sandiwara Mengawal Pulau Dewata

  • www.nusabali.com-janger-sandiwara-mengawal-pulau-dewata

Pada tahun 1960-an masyarakat Bali pernah mengenal Janger Sandiwara. Namun setelah petaka G30S mengoyak negeri, seni pertunjukan yang memadukan janger dengan sandiwara itu senyap bak ditelan bumi.

DENPASAR, NusaBali

Kini, setelah lebih dari setengah abad tertidur pulas, digeliatkan lagi, dan pada Jumat malam 20 Mei lalu ditampilkan dalam gelar seni Bali Mandara Nawa Natya di Panggung Ayodia, Taman Budaya Bali. Adalah para mahasiswa komunitas seni tari, karawitan, dan pedalangan ISI Denpasar hadir dengan semangat pembaharuan menyajikan Janger Sandiwara yang mengangkat lakon “Gerhana Rembulan di Pulau Dewata”.

Janger dan sandiwara adalah dua gendre seni pentas yang muncul dari arah yang berbeda. Janger adalah seni dendang tembang yang berkarakter tradisional, sedangkan sandiwara adalah ungkapakan seni pertunjukan modern Barat. Sejatinya janger dapat juga menyajikan lakon dalam pementasannya yang disebut janger malampahan (janger yang disertai lakon). Namun sumber lakon yang disuguhkan adalah diambil dari cerita Mahabharata seperti Arjuna Wiwaha, cerita rakyat Jayaprana, atau babad Kebo Iwo. Sedangkan dalam Janger Sandiwara cenderung mengadaptasi cerita dari luar Bali seperti Malin Kundang dan Jaka Tarub, selain juga sejarah seperti Untung Surapati dan  Perang Diponogoro.

Pada era kejayaannya, Janger Sandiwara dipentaskan dalam dua pola penyajian. Pola pertama, menampilkan keseluruhan tari janger, dan setelah jeda sejenak, kemudian dilanjutkan dengan bagian sandiwaranya. Pola kedua, janger dan sandiwara dipadukan menjadi satu dimana para penari janger dan kecak menjadi bagian dari sajian struktur dramatik sandiwara. Kedua pola itu sama-sama disukai penonton. Pada tahun 1963, ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, unsur sandirwara lebih ditonjolkan dengan kisah heroik yang tokoh utamanya siap bertempur mengganyang Malaysia. Menjelang meletusnya G30S, unsur janger lebih membuncah dengan lagu atau pantun keberpihakan pada dua partai besar, PNI dan atau PKI, yang bersaing sengit saat itu.

Dalam perjalananya kemudian, setelah kondisi sosial lebih baik seusai G30S, Janger Sandiwara sempat bangkit sejenak  dengan sumber lakon lokal Bali diiringi gamelan barungan kecil babatelan disertai ciri khas sebuah instrumen rebana besar yang berbunyi ber ber ber. Sajian pertunjukan inilah menjadi salah satu sumber inspirasi munculnya drama gong pada tahun 1967 di Desa Abianbase, Gianyar. Hadirnya drama gong yang dipelopori oleh Anak Agung Raka Payadnya tersebut justru kemudian menenggelamkan Janger Sandiwara itu sendiri. Kini janger hanya disajikan untuh sebagai janger saja yang merupakan tari muda mudi yang sarat dengan keceriaan suka citanya.

Janger Sandiwara garapan para mahasiwa ISI Denpasar masih kental dengan kegirangan lagu dan keceriaan lenggang tarinya. Namun unsur lakon yang digulirkan sarat dengan pesan moral kekinian. Tampak ciri khas koreografi janger diramu dengan stilisasi gerak-gerak tari yang lebih menyegarkan. Demikian pula lagu-lagu yang didendangkan masih terdengar unsur melodi janger klasik namun telah dipoles dengan lirik dalam makna realistik. Melalui lakon “Gerhana Rembulan di Pulau Dewata” menonton seakan diajak bersama mengawal Bali agar tidak terjerumus dalam kubangan globalisasi pariwisata yang menyesatkan budi dan nurani masyarakat Bali.   

“Gerhana Rembulan di Pulau Dewata” bertutur tentang kehidupan di sebuah tempat yang secara inten bersinggungan dengan jagat kepariwisataan. Alkisah di Desa Sukarena hidup seorang gadis cantik bernama Ni Luh Sekar. Anak tunggal pasangan petani I Wayan Gledag dan Ni Made Ridet ini dikenal sebagai seorang penari yang berbakat. Sejumlah pemuda desa menaruh hati pada kembang desa ini, diantaranya yang mencintai Luh Sekar secara diam-diam adalah I Putu Susila, seorang  penabuh dari keluarga miskin.  Sebagai seorang penari yang sering pentas di hotel-hotel, kemolekan Luh Sekar juga mengundang kekaguman dua orang pria yaitu Mister Lenon dari Amerika dan Novanto dari Jakarta. Lenon menjanjikan akan mengajak Luh Sekar keliling dunia sedangkan Novanto menjanjikan Luh Sekar bersama ayah-ibunya, hidup mewah di Jakarta. Melihat semua itu, I Putu Susila bagai pungguk merindukan bulan. Luh Sekar bingung, karena sebenarnya ia mencintai I Putu Susila. Namun kedua orang tuanya menginginkannya memilih antara Lenon atau Novanto. 

Ketika Luh Sekar memutuskan pilihan hatinya pada I Putu Susila, secara bersamaan Lenon dan Novanta, datang melamar yang disambut girang Wayan Gledag dan Ni Made Ridet. Tetapi tak  lama kemudian datang sepasukan polisi menyergap Lenon yang sebenarnya buronan penjahat yang bersembunyi di Bali dan juga memborgol Novanto yang sebenarnya pengedar narkoba jaringan internasional. Cinta Luh Sekar dan I Putu Susila bercumbu mesra diterangi sinar lembut rembulan.

Adegan klimaks, ketika Luh Sekar (diperankan oleh Sri Ayu Pradnya Larasari) direstui oleh ibunya, Men Ridet (Ni Wayan Suratni, S.Sn., M.Si), untuk mengawal seni budaya Bali agar tetap lestari dan berkembang, disambut haru para penonton yang memenuhi Panggung Ayodia. Keseluruhan pesan moral yang terlontar dalam garapan seni pentas ini, baik yang dibungkus secara humoristik maupun diungkapkan secara retorika eksplisit, terasa menggugah penonton bahwasannya kita, masyarakat Bali harus tetap menunjukkan keramahannya menerima wisatawan atau pendatang luar, namun jangan sampai meninggalkan kewaspadaannya untuk tidak mudah terlena dengan segala iming-iming yang bisa menghancurkan Bali.  7 (Kadek Suartaya)

Komentar