nusabali

Bali Pertanyakan Tumpang Tindih Aturan

  • www.nusabali.com-bali-pertanyakan-tumpang-tindih-aturan

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi Bali undang Pimpinan KPK dalam acara sosialiasi ‘Pencegahan Korupsi dan Pengawalan Bersama Pengelolaan Keuangan Dana Desa’ di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernuran, Niti Mandala Denpasar, Selasa (24/5).

Sosialiasi ‘Pengawalan Bersama Pengelolaan Keuangan Dana Desa’

DENPASAR, NusaBali
Dari acara itu, terungkap tumpang tindih regulasi masih menjadi hantu bagi aparat di daerah, terutama para kepala desa yang tidak dapat pendampingan dalam pengelolaan dana desa.

Acara sosialisasi ‘Pencegahan Korupsi dan Pengawalan Bersama Pengelolaan Keuangan Dana Desa’, Selasa kemarin, melibatkan tiga provinsi sekaligus: Bali, NTB, dan NTT. Kegiatan ini, antara lain, dihadiri Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal Ahmad Erani Yustika, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Kepala BPMPD Provinsi Bali Ketut Lihadnyana, Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Jro Gede Wayan Suwena Putus Upadesa.

Para pemangku kebijakan di Bali mempertanyakan kepada pemerintah pusat soal aturan yang tidak jelas dan cenderung menjerumuskan pejabat darah. Kepala BPMPD Kabupaten Badung, Putu Gede Sridana, terang-terangan menyebutkan regulasi yang ada terkesan menjebak pejabat daerah. Salah satunya, Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang di Bali tidak bisa diterapkan karena adanya desa adat dan desa dinas.

“Kami minta kebijakan soal regulasi, terutama UU Desa, supaya ada dasar hukum yang jelas. Bagaimana pun, desa adat diakui dalam UUUD,” ujar Putu Gede Sridana dalam acara yang dipandu Kepala BPMPD Bali, Ketut Lihadnyana.

Salah satu dampak UU Desa, kata Sridana, adalah masalah dana hibah untuk desa adat. “Masyarakat teriak minta dana hibah. Kami pejabat di daerah serba dilematis. Kalau meloloskannya, sudah ditunggu bapak (KPK, Red) yang akan menyergap kami,” ujar Sridana.

Sedangkan Kepala BPMPD Kabupaten Sika, NTT, Dahlan, mempertanyakan tenaga pendamping bagi desa untuk mengelola dana desa supaya tidak menjadi persoalan di kemudian hari. “Ada hambatan dalam penyampaian pertanggungjawaban. Masalah Silpa (Sisa Lebaih Perhitungan Anggaran), misalnya. Di daerah tidak tahu persis pola-pola dalam membuat pertanggungjawaban. Harus ada pembinaan,” harap Dahlan.

Sayangnya, pemerintah pusat belum bisa memenuhi harapan Dahlan, terutama menya-ngkut tenaga pendamping desa. Menurut Dirjen Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal, Ahmad Erani Yustika, tahun depan tenaga pendamping desa kemungkinan tidak ada lagi. “Anggaran pusat ada pemotongan sampai 40 persen,” dalih Erani Yustika.

Namun demikian, pihaknya tetap akan berjuang. “Ini kebijakan pusat. Kami sedang memperjuangkan hal ini sekarang. Bagaimana supaya anggaran untuk tenaga pendamping ini tidak banyak terpotong,” ujar Erani Yustika. Soal dana hibah, Erani Yustika menyebutkan hal tersebut masalah klasik. “Yang menyangkut regulasi di luar dana desa, Mendagri yang tahu soal itu,” kilahnya.

Sementara, Gubernur Pastika menyebutkan ke depan pembagian dana desa perlu diatur lagi, supaya tidak terjadi kecemburuan dan memperparah urbanisasi. Mantan Kapolda Bali ini menegaskan, kriteria yang ditetapkan pusat untuk dana desa belum mencerminkan beban desa dan kondisi desa yang sebenarnya. “Di Bali contohnya, kan belum mendapatkan porsi yang sesungguhnya. Maka, Bali sejak lama sudah menyuarakan otonomi asimetris, bukan otonomi khusus. Nanti malah diartikan mau merdeka. Ya, minimal Bali bisa mengatur dan ikut menentukan besaran dana desa-lah,” ujar Pastika.

Pastika menegastakan, Pemprov Bali bisa mengucurkan dana Rp 200 juta setiap tahun kepada desa adat. Namun, itu belum cukup. “Masih banyak desa di Bali yang miskin. Dana Rp 200 juta itu belum cukup,” katanya.

Seusai acara kemarin, Pastika sempat membeber masalah bantuan desa dan desa adata yang terbentur aturan kepada Pimpinan KPK, Alexander Marwata. Pastika pun membuat KPK terperangah, karena di Bali ada desa adat yang selama ini perlu dibiayai. Desa adat selama ini menjadi penopang dan benteng pelestarian budaya di Bali. “Bali sendiri menyetorkan triliunan rupiah ke pusat. Sementara untuk membiayai adat dan melestarikan tradisi serta budaya, perlu dana. Ini harus dipikirkan,” tandas Pastika.

Sementara itu, Kepala BPMPD Provinsi Bali Ketut Lihadnyana menginformasikan dana desa tahap pertama dari pemerintah pusat sudah tersalurkan untuk 42 persen dari total 636 desa penerima. Menurut Lihadnyana, tiga kabupaten/kota belum menyalurkan dana desa ke rekening desa, yakni Karangasem, Klungkung, dan Denpasar. "Hal ini karena dana desa baru beberapa hari masuk ke rekening kabupaten/kota. Agak terlambat dibandingkan kabupaten lainnya, tapi sudah masuk," ujarnya.

Dia mengatakan, penyebab keterlambatan masuknya dana desa dari pemerintah kabupaten/kota juga lambat untuk menyampaikan Peraturan Bupati/Peraturan Walikota yang mengatur pengalokasian dana desa. Peraturan Bupati/Peraturan Walikota untuk pengalokasian dana desa harus diubah karena tahun ini penyaluran dana desa dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap pertama 60 persen dan tahap kedua 40 persen. Sedangkan pada 2015, penyaluran dana desa dibagi menjadi tiga tahap: 40 persen, 40 persen, dan 20 persen. 7 nat

Komentar