nusabali

Orang Bali Jago Tiru

  • www.nusabali.com-orang-bali-jago-tiru

Jika ingin bertemu kerumunan plagiator, berkunjunglah ke Bali. Di pulau ini, meniru adalah sebuah kreativitas. Itu sebabnya, orang Bali dikenal sebagai juru tiru yang piawai dan ampuh. Meniru bahkan dianggap sebagai bagian dari proses penciptaan. 

Aryantha Soethama
Pengarang

Dalam peniruan itu, orang Bali tidak semata meniru, tapi juga mengembangkan apa yang mereka tiru. Tak peduli, apakah si pencipta asli sebuah karya jengkel atau gusar ketika ciptaan mereka ditiru. 

Semua orang Bali bahkan tahu, dan paham betul, tak bakalan ada rekan-rekan mereka yang akan marah jika ditiru. Kadang mereka bangga kalau ada yang meniru, karena itu pertanda ciptaan mereka laku. Sering muncul kesan, sebuah karya dinilai seberapa hebat, seberapa kuat, seberapa menghujam, setelah orang-orang tahu seberapa jauh dan meriah karya itu ditiru.

Boleh jadi itu sebabnya, zaman dulu tak ada orang Bali yang mengakui seratus persen ciptaannya. Setiap kreator tahu ia berkarya karena tak pernah memulai seluruhnya dari nol. Selalu saja ada awal yang menjadi permulaan kreasi mereka. Awal itu, nol itulah, yang dilakukan dengan meniru. Sama saja dengan ajaran, bahwa tak seorang seniman pun sesungguhnya seorang guru, karena ia juga murid. Pada saat sama, semuanya murid, dan semuanya juga guru.

Tapi, itu dulu, ketika orang Bali malu sebagai dihargai pencipta. Mereka juga tak sudi disebut plagiator, karena sesungguhnya mereka meniru dari lingkungannya, dari kerabat dan handai taulan. Belajar dimulai dari meniru. Mungkin itu sebabnya, pengakuan hak intelektual seseorang di Bali, terutama di kalangan penggiat seni, tidak terlampau dihargai, bahkan dianggap sebagai pengkhianatan hubungan murid-guru. Banyak orang Bali menganggap manusia itu murid, alam itu guru. Karena itu, manusia harus menimba alam. Menimba, tidak merusak. Karena jika guru rusak, alam binasa, murid pun tersesat.

Ismail Saleh, ketika menjadi Menteri Kehakiman, gigih mengajak seniman Bali mendaftarkan hak cipta mereka. Ketika seorang pematung dari Buruan, Blahbatuh, Gianyar, mendaftarkan hak cipta sejumlah patung-patung karyanya, tak sedikit orang Bali mencibir. Banyak yang berujar, “Tidak sepantasnya seniman itu menuntut hak cipta, karena patung-patung itu tidak seutuhnya ciptaannya.” Orang-orang berpendapat, setiap penggiat seni di Bali selalu menimba dari orang lain. Tak patut jika siapa pun menuntut hak cipta atas karyanya. Tentu ini bertentangan dengan proses penciptaan masa kini, yang memberi sepenuhnya keleluasan bagi siapa saja untuk mengakui hak milik ciptaannya. 

Jika di malam ngerupuk, menjelang Nyepi, banyak ogoh-ogoh diarak, tentu bakalan banyak yang menghargai penciptanya. Namun, tak bakalan seorang pun yang pantas disebut sebagai pencipta ogoh-ogoh yang diarak itu. Topeng ogoh-ogoh mereka beli, misalnya. Bukan salah seorang di antara mereka yang menciptakan topeng itu. Si pemahat topeng raksasa itu juga tak pernah merasa sebagai pencipta, karena ia cuma seorang pekerja. Dalam bahasa masa kini, hasil kesenian adalah kerja kolektif. Tapi, tetap saja ada yang dihargai sebagai pencipta, sebagai pemilik, seperti dalam produk film (movie). Selalu muncul sutradara sebagai ‘pemilik’.

Kalau begitu, tidakkah ini berarti orang Bali tidak peduli dengan hak cipta? Yang membuat mereka gampang menjiplak karya orang lain. Seorang dosen mengaku gusar, karena mahasiswanya lebih suka memfotokopi tinimbang membeli buku asli. “Sudah saya sarankan berkali-kali agar membeli buku saya yang asli, tapi kebanyakan mereka memfotokopi. Yang untung pengusaha fotokopi. Padahal sudah saya beri diskon lima puluh persen dibanding harga di toko buku, tetap saja mereka tak mau beli yang asli,” gerutu si dosen.

Mungkin itu juga sebabnya, sering kita dengar orang-orang senang menjiplak karya ilmiah. Banyak skripsi nyaris persis sama. Banyak kaum akademisi yang menulis ulang penelitian mereka berkali-kali di berbagai jurnal untuk kenaikan pangkat. “Untung sekarang ada keharusan mempublikasikan online karya-karya ilmiah, sehingga karya jiplakan mudah dilacak,” ujar dosen yang mengecam plagiarisme, dan berharap kaum plagiator dihukum berat.

Tapi di Bali, meniru bukan sebuah kejahatan. Meniru adalah kegiatan kreatif. Karena dalam berkesenian mereka terlibat dalam kelompok-kelompok (sekaa), aktivitas saling mempengaruhi adalah proses kreatif dalam meniru. Tentu ada sisi positif yang dibawa, seperti sebuah karya menjadi milik bersama karena terus menerus diolah, ‘diobrak-abrik’, sampai benar-benar matang. Tidak penting siapa yang menggarap, yang penting adalah hasilnya. Karya seni pun menjadi kian hidup dan punya tempat di banyak penggemar.

Tapi, sisi buruknya pun banyak. Misalnya, karena terbiasa meniru, mereka ogah sungguh-sungguh membuat yang baru. Mereka berpikir, jika dengan meniru bisa dikenal hebat, buat apa mencipta? Generasi jago tiru akan tenggelam dalam kemalasan, dan selalu mencari celah untuk tidak jujur, generasi yang suka mengaku-aku: satu karya bukan ciptaannya, tapi mengaku dia kreatornya. 7

Komentar