nusabali

MUTIARA WEDA : Derita Vs Bahagia

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-derita-vs-bahagia

Orang yang terikat dengan keduniawian, ingin menyerahkannya (renounce) dalam rangka menghindari penderitaan yang ada bersamanya.

Hātum-icchati samsāram rāgi duhkha jihāsayā

Vita-rāgo hi nir-duhkhas-tasminn-api na khidyati
(Astavakra Gita, 16.9)


Tetapi orang yang tidak terikat akan bebas dari penderitaan dan tidak merasa kesusahan walaupun di dunia ini.

Apa yang disampaikan oleh Astavakra dalam sloka ini sangat jelas. Sepertinya interpretasi tidak diperlukan lagi. Kalimatnya sangat jelas dan mudah dimengerti. Kalimat pertama menyatakan bahwa orang ingin lepas dari kehidupan duniawi oleh karena ingin terhindar dari penderitaan. Ini telah sangat jelas kita pahami. Kita telah terbiasa dengan ini. Kita mengeliminasi banyak hal oleh karena kita tidak mau menanggung derita yang diakibatkannya. Demikian juga kita mencoba melakukan banyak hal oleh karena ingin meraih kebahagiaan dan menjauhkan penderitaan. Hampir kita tidak pernah ingin melakukan sesuatu untuk menjadikan diri kita menderita. Setiap saat kita menginginkan kesenangan dari segala yang kita lakukan.  

Hanya masalahnya, kita hidup di dunia dualitas. Kita tidak memiliki kekuasaan untuk menolak satu sisi kehidupan dan kemudian menerima sisi lainnya. Kita tidak memiliki kemampuan untuk senantiasa mendapatkan kebahagiaan dan terbebaskan dari penderitaan. Meskipun kita melakukan sesuatu untuk kesenangan dan kebahagiaan kita, tetap penderitaan juga selalu hadir bersama. Seolah-olah kebahagiaan dan penderitaan itu sepasang kekasih yang tidak bisa lepas satu sama lain. Jika kita ingin bahagia, derita juga tetap datang, demikian juga ketika kita mencoba menghindar dari derita, tidak setiap saat bahagia bisa datang.

Seperti teks di atas, hampir semua dari kita ingin melepaskan sesuatu dengan alasan takut akan deritanya. Hampir sebagian besar dari kita terjun ke dunia spiritual, mencoba melepaskan keterikatan duniawi oleh karena kita takut menderita yang disebabkan oleh dunia material tersebut. Sehingga bagi Astavakra, hal ini tidak mungkin, sebab dualisme kehidupan tidak dapat dihindarkan. Namun, Astavakra memberikan penegasan, “meskipun demikian, kita bisa terbebas dari penderitaan duniawi hanya ketika kita tidak terikat dengannya.” Ketika kita tidak terikat, maka kita tidak lagi ingin menyerahkan apapun, menghindarkan apapun, walaupun kita tetap berada di dunia.

Jika kita tidak terikat dengan hal-hal duniawi, maka dualitas yang dimunculkannya juga tidak akan mengikat kita. Dia akan datang dan pergi pada kita, tetapi tidak membuat kita terbelenggu. Kita akan tetap seperti langit walaupun awan terus-menerus datang dan pergi. Langit tidak pernah tersentuh oleh awan meskipun mereka datang sesuka hati dan juga hilang sekehendaknya. Ketidakterikatan yang diindikasikan oleh Astavakra tidak ubahnya seperti langit. Langit tidak perlu melakukan apapun untuk menghalau awan.

Lain halnya dengan kita yang mencoba menghindari awan. Setiap tindakan yang diambil akan selalu bermasalah oleh karena awan tidak bisa ditolak kedatangannya di langit. Demikian juga tidak bisa dihentikan untuk pergi. Sehingga dengan demikian, jika kita mengambil tindakan dalam rangka untuk menghindari derita hidup, maka setiap tindakan itu akan melahirkan jenis penderitaan baru. Banyak orang yang meminum-minuman beralkohol untuk menghilangkan derita hidupnya, tetapi yang datang justru masalah yang semakin kompleks. Demikian juga orang berbalik haluan menjadi religius, tiba-tiba rajin sembahyang, mengunjungi Pura, berdana punia, melakukan upacara dan yang lainnya. Alasannya agar terhindar dari penderitaan. Namun tetap, fungsi religius yang dilakukannya hanya mampu menghilangkan rasa derita itu untuk sementara. Fungsi religius tersebut tidak berbeda dengan fungsi alkohol. Atau bahkan religiusnya hanyalah bentuk lain dari alkohol. Sementara derita itu sendiri tetap ada.  

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar  
          

Komentar