nusabali

Tradisi Magibung

  • www.nusabali.com-tradisi-magibung

Bali  bukan hanya terkenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena adat istiadat dan budayanya.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD


Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya


Salah satu kebiasan krama Bali adalah ‘magibung’, duduk bersila berbagi rasa dengan empat orang lainnya. Konon tradisi magibung dimulai sejak Raja Karangasem I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, menaklukkan kerajaan-kerajaan di Lombok. Di kala para prajurit istirahat, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut magibung. Hingga saat ini tradisi magibung masih dilaksanakan. Magibung sering dihelat berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama Hindu. Misalnya, pada saat upacara potong gigi, otonan anak, pawiwahan, ngaben, pemlaspasan, piodalan di Pura. Tradisi magibung menjadi ciri khas Kabupaten Karangasem.

Orang-orang yang magibung harus mengikuti tata tertib dan aturan yang ketat. Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil lauk-pauk lainnya secara teratur. Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Sisa-sisa harus dibuang di atas sebidang daun pisang yang telah disediakan. Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi. Untuk kepraktisan, kini air kendi diganti dengan air mineral kemasan.

Magibung merupakan kearifan lokal yang mengandung nilai kebijaksanaan dan kearifan yang diejawantahkan oleh krama Bali. Nilai inti, seperti kebersamaan dan kesejajaran  merupakan prinsip kemanusiaan yang penting. Kedua nilai tersebut tidak diteorikan, tetapi dibudayakan dalam perilaku yang mendidik. Di dalam kedua nilai inti ini tersisip  norma kehidupan. Norma merupakan aturan yang sudah menjadi kesepakatan. Magibung menjadi ekosistem pembudayaan nilai kebersamaan dan kesderajatan. Ekosistem yang dibangun dalam magibung, biotik maupun abiotik, dilakukan secara otentik.

Bali dikenal sangat taat menjaga tradisi leluhurnya. Ada empat pilar yang dapat digunakan untuk menjaga kedua nilai dan norma tersebut. Keempat pilar itu merupakan empat pengikat. Sebutannya, catur banda, yaitu keluarga batih, keluarga besar, krama banjar/desa, dan krama luas. Dengan keempat pilar tersebut krama Bali mengikatkan diri membangun budaya dan agama Hindu. Nilai dan norma menjadi tali pusar kehidupan.  Krama Bali bertumpu pada keempat pilar tersebut, sehingga tumbuh dewasa dalam keunikannya. Keempat pilar itulah sesungguhnya penjaga tradisi kebalian. Tanpa keempatnya, maka tradisi kebalian akan runtuh.

Sepanjang keempat pilar itu masih ada, maka keruntuhan budaya Bali adalah kemustahilan. Kini, Bali sarat muatan asing. Sifat yang dikandungnya banyak yang berbeda. Di samping itu, ruang Bali mulai padat. Waktunya pun seakan dipercepat. Toleransi antar-krama sering mendapat ujian berat. Keempat pilar tersebut harus diupayakan tetap berdiri kokoh. Kalau tidak demikian, maka kekerabatan di Bali akan terurai lepas. Kohesifitas hubungan akan semakin mengendor. Akhirnya, keruntuhan budaya Bali tinggal menghitung hari!

Saat ini, Bali disibukkan dengan berbagai aktivitas dunia. Kemampuannya untuk selalu berhasil memang tidak disangsikan. Namun, hubungan intim antara tradisi, budaya, dan generasi penerus Bali sedang diintip oleh berbagai intrik dan muslihat. Banyak tipu muslihat berada di belakang pilar-pilar tradisi, budaya, dan kekerabatan di desa pakraman. Antaranya, tanah Bali banyak terbeli oleh modal luar. Bahkan, jurang-jurang asri pinggir kali sudah terhuni oleh orang luar. Sekarang, bandara sangat megah dan meraup banyak harta. Jalan bebas hambatan di atas laut juga sudah terbangun dan memperpendek rute. Masih banyak lagi proyek yang akan dibangun di Bali. Kesimpulannya, Bali sudah jauh melangkah. Hanya satu yang dikhawatirkan, akankah pilar-pilar tradisi dan budaya itu meninggalkan rumahnya sendiri? *

Komentar