nusabali

Sepuluh Jari di Depan Dahi

  • www.nusabali.com-sepuluh-jari-di-depan-dahi

Berbeda kepercayaan dan keyakinan, berbeda pula sikap orang-orang ketika berdoa. Ada yang bersidekap ketika memohon keselamatan dan kesejahteraan.

Aryantha Soethama

Pengarang.


Ada pula yang merentangkan tangan, menengadahkan kepala, dan pikiran dibiarkan melayang-layang meminta agar dianugerahi kesehatan. Sebagian orang-orang menyatukan sepuluh jari, mengepalkannya, sembari menggoyang-goyangkan kepalan itu di depan dada.

Ada pula yang berdoa tak cukup komat-kamit, tapi berseru-seru, menyampaikan doa sekeras-kerasnya, kuat-kuat, seakan Yang Dituju itu harus dibangunkan dengan suara nyaring, padahal para pendoa itu tahu, Yang Dituju itu Maha Mendengar. Di antara doa kuat dan keras itu, banyak yang berdoa tepekur, diam, hening, menyatu dengan sekeliling, permintaan yang disampaikan sangat pribadi, tak seorang pun boleh tahu, karena hal itu urusan yang bersangkutan dengan Yang Dituju.

Banyak orang yang berdoa cuma sekilas, sekian detik, tapi sangat khusuk. Ketika hendak berangkat kerja atau mau bertemu pacar, dia berdoa, memohon agar pertemuan dengan rekan atau teman kencan berlangsung mulus, tenang, dan penuh kenangan. Dia berdoa ketika menutup pagar memohon agar selamat sampai tujuan dan jalan dilapangkan Tuhan. Tak ada sikap khusus harus ditampakkan.

Seperti apakah kalau orang Bali berdoa? Ada yang punya kamar suci khusus untuk berdoa. Ada orang Bali yang menilai tak perlu kamar suci, mereka berdoa di merajan, karena keselamatan, rezeki, mesti direstui Hyang Widhi dan para leluhur. Semoga leluhur memberi pengawasan, perlindungan, dan menampik orang-orang yang berniat berbuat jahat. Siapa tahu ada yang jahil ketika di jalan, atau berniat jahat hendak mencemplungkan racun ke dalam kopi yang hendak diseruput.

Kendati sikap orang Bali berdoa tidak berbeda, tapi tidak berarti sikap mereka sepenuhnya sama. Ketika berdoa di merajan, di tempat-tempat suci, di Pura Kahyangan Tiga, mereka mencakupkan tangan sepuluh jari-jemari di depan dahi. Perhatikanlah jari jemari itu, posisinya tidak sama satu dengan lain. Ada yang mencakupkan sepuluh jari di depan dahi, ada yang ujung jari manis di atas ubun-ubun, ada pula dengan ujung ibu jari menyentuh dahi.

Sebagian orang Bali yang berdoa, yang lelaki bersila, perempuan bersimpuh, sepuluh jari mereka ada yang terangkat tinggi, bak melayang di atas ubun-ubun. Yang lain merapatkan sepuluh jemari itu ke dahi, kepala merunduk, seakan berserah diri kepada Hyang Widhi tulus penuh. Beberapa ada yang mencakupkan tangan di depan dahi, dengan ujung telunjuk dan jari manis menunjuk ke depan. Penganut berdoa semacam ini beralasan, “Begitu semestinya sikap jari-jari kita ketika sedang sembahyang, karena itu pertanda kita sedang menuju ke masa depan.”

Lembaga umat pemeluk Hindu di Bali sudah mengeluarkan tata cara dan sikap jika umat sembahyang. Buku-buku tentang bagaimana semestinya jari jemari ketika berdoa, di mana posisinya, di depan dahi atau di atas ubun-ubun, sudah pula banyak dijual. Tapi, sekali lagi, cobalah perhatikan, sikap itu tak bisa dilaksanakan seragam oleh orang-orang Bali yang sedang berdoa dan menghaturkan sembah. Mungkin karena orang Bali malas baca buku, atau tak terlampau peduli pada sikap ketika berdoa. Yang penting permohonan disampaikan, tidak mencakupkan tangan pun tidak apa-apa. Tangan tercakup, itu cuma ritual.

Mungkin karena tidak terlampau mempersoalkan tata cara itu, banyak orang Bali tak sepenuhnya punya kesatuan sikap ketika menghaturkan doa untuk orang mati. Biasanya, jika ada yang meninggal, anggota keluarga dianjurkan menghaturkan sembah. Lazimnya yang menghaturkan sembah ini mereka yang usianya lebih muda dari si mati. Maka jika yang meninggal itu kakek-nenek yang renta, bakalan banyak berderet-deret anak-cucu, adik, kumpi, menghaturkan sembah. Suasana akan jadi gaduh, saling sikut, saling dorong disertai gelak tawa, mencari celah untuk duduk bersila atau bersimpuh, karena natah sempit. Tetangga, dan mereka yang tidak ada hubungan keluarga dengan si mati, akan berujar, “Wah, subur betul nenek ini. Betapa bahagia dia menyaksikan anak-cucu-kumpi menghaturkan sembah. Ini kekayaan tiada kira.”

Tapi, acap kali usia si mati masih belia, belum 40, tewas diseruduk truk pengangkut pasir. Karena ia mati muda banyak yang bersedih. Banyak temannya datang, karena si mati orang baik, suka menolong teman dan sering melucu kalau ada kegiatan ngayah di pura dan di banjar. Semua teman, kerabat, kakak sepupu, dan adik-adik menghaturkan sembah. Tiba-tiba datang seseorang, mungkin paman si mati, menanyakan usia yang hendak menghaturkan sembah.

“Kalau kita menghaturkan sembah untuk yang meninggal, tangan dicakupkan di depan dada, tidak di depan dahi,” sarannya. Ada lagi permintaannya yang lain. “Sembah dilakukan hanya untuk mereka yang umurnya lebih muda. Kalau lebih tua tidak pantas, bahkan dilarang.”

Tak ada yang menghiraukan larangan itu. Semua yang hadir mencakupkan tangan di depan dada. Ada yang berbisik dengan rekan di sebelahnya, “Aku tidak menyembah si mati, aku menghaturkan doa semoga jalannya ke asal dilapangkan Tuhan” Begitulah di Bali, doa untuk orang meninggal kenapa harus dikait-kaitkan dengan usia. *

Komentar