nusabali

Nyoman Wardi Raih Gelar Doktor Prodi Kajian Budaya

  • www.nusabali.com-nyoman-wardi-raih-gelar-doktor-prodi-kajian-budaya

Dosen Program Studi Arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (Unud), Drs I Nyoman Wardi MSi, meraih gelar Doktor setelah berhasil mempertahankan desertasinya dalam Ujian Promosi Doktor, Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Unud.

DENPASAR, NusaBali

Ujian desertasi dengan judul ‘Marjinalisasi Kearifan Lingkungan Kosmologis Warisan Budaya Pura Batukaru-Pekendungan di Kabupaten Tabanan Bali’ itu diselenggarakan di gedung fakultas setempat, Jumat (19/1).

Sidang Promosi Doktor dipimpin Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unud, Prof Dr Luh Sutjiati Beratha MA, yang beranggotakan Prof Dr Phil I Ketut Ardhana MA, Prof Dr I Wayan Ardika MA (Promotor), Prof Dr AA Ngurah Anom Kumbara MA (Kopromotor I), Dr Industri Ginting MS (Kopromotor II), Prof Dr AA Bagus Wirawan SU, Prof Dr Ing Ir I Made Merta, Dr I Wayan Suwena, dan Dr I Nyoman Dhana MA. Berkat usahanya dalam pempertahankan desertasi di hadapan penguji, Promovendus Nyoman Wardi lulus dengan predikat sangat baik. Dia resmi menyandang gelar Doktor ke-203 pada Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Unud.

Dalam desertasinya, Promovendus Nyoman Wardi memaparkan, pentingnya penelitian yang dia lakukan, khususnya Subak Catur Angga Pura Batukaru, karena sejak 29 Juni 2012 telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai bagian dari cultural landscape of Bali Province. Kebanggaan akan pengakuan itu sekaligus menjadi tantangan bagi seluruh komponen untuk menjaga kelestariannya. Sebab faktanya, pada zaman global ini, eskalasi pembangunan dan perubahan aspek sosial budaya dan likungan begitu cepat dan dinamis. Perubahan itu digerakkan oleh globalisasi melalui industri pariwisata.

“Setelah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, kunjungan pariwisata itu melimpah khususnya di Jatiluwih. Termasuk ke situs Pura Batukaru-Pakendungan. Namun, di sisi lain, karena berlipatnya kunjungan wisatawan,  ada upaya memarjinalisasi kearifan lingkungan yang ada. Ini tanggung jawab kita yang melestarikannya,” ungkap akademisi asal Desa Abiantuwung ini.

Berdasarkan penelitiannya, ada pragmatisme dan ideologi pariwisata di balik marjinalisasi kearifan lingkungan kosmologis Catur Angga Pura Batukaru-Pakendungan. Ada pelanggaran-pelanggaran pembangunan fasilitas pariwisata yang terjadi di kawasan suci pura baik di kawasan Catur Angga Batukaru (khususnya di situs Pura Petali) maupun di kawasan hilir di situs Pura Pakendungan. Misalnya saja, di sekitar Pura Petali yang berada di bagian hulu (utara) dan timur Pura Rsi Bhujangga Waisnawa, pada tahun 2000 telah dibangun sebuah fasilitas pariwisata berupa villa dan resort.

“Pura Petali berada di hulu termasuk kawasan suci Dang Kahyangan. Mestinya ada suatu koordinasi antara pemerintah, tokoh, dan masyarakat, termasuk penyungsung, penganceng pura, untuk menjaga kelestarian ini agar pembangunan itu bisa berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Sehingga bisa seimbang,” kata akademisi yang juga aktif sebagai anggota tim ahli cagar budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tersebut.

Sementara pembangunan fasilitas pariwisata pada warisan budaya situs Pura Pakendungan memberikan konsekuensi yang sangat kontras yaitu ekonomi dan sosial budaya. Secara sosial ekonomi, proses komodifikasi warisan budaya Pura Pakendungan membawa dampak cukup positif. Akan tetapi di sisi lain, pembangunan fasilitas pariwisata tersebut mengacaukan tatanan kosmologi magis dan memarjinalkan nilai-nilai historis, nilai autensitas dan kearifan lingkungan. “Secara epistemologi, hasil temuan ini diharapkan mampu berkontribusi terhadap kajian-kajian budaya, dalam konteks bagaimana hubungan yang terintegrasi dan holistik  antara budaya dan lingkungan,” harapnya.  “Dan secara kebijakan, kami harap pemerintah juga memperhatikan nilai-nilai kearifan budaya ini, dan mengawasi kebijakan. Penegakan hukumnya juga penting, kalau melanggar ya memang harus diberikan sanksi,” imbuhnya. *ind

Komentar