nusabali

MUTIARA WEDA : Seperti Sapi Membajak Sawah

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-seperti-sapi-membajak-sawah

Ini yang patut dilakukan, walaupun sedang sibuk dalam menjalankan dharma, bersamaan itu gunakan juga waktu untuk mencari penghasilan, seperti sapi yang dipakai membajak sawah, keliling dengan alat bajak sambil mencoba meraih rumput, ia pun puas.

Vyāprtināpi hi svārthah kriyate cāntare’ntare

Medhri prste’pi hi brahmyam grāsam grāsam karoti gauh
(Sarasamucchaya, 53)


BILA kita berpijak pada prinsip Catur Purusha Artha, yakni Dharma, Artha, Kama, dan Moksa, uraian teks Sarasamucchaya di atas sangat tepat menggambarkannya. Sungguh, hidup itu adalah ladang dharma, di mana kita bisa melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan itu. Kita hidup tidak lain hanyalah menjalankan dharma. Pada masa remaja, kita diberikan porsi untuk belajar, dan ketika kita menerimanya itu dengan baik, kita menjadi sejalur dengan dharma. Pada masa muda, kita menjalani kehidupan berumah tangga, dan kita diberikan porsi untuk melangsungkan kehidupan dengan jalan melahirkan generasi penerus yang baru, melaksanakan upacara yadnya dan kegiatan tradisi lainnya, menjalankan kehidupan sosial, menjamin keberlangsungan kehidupan para brahmacari dan sannyasin. Ketika kita melakukan semua itu, kita pun satu jalur dengan dharma.

Ketika masanya tiba, tubuh ini mesti harus pensiun dari tugas duniawi, kita harus mempersiapkan diri kembali ke asal, menjadi Vanaprastha, menyepikan diri dan fokus pada diri. Ketika kita lakukan ini, maka kembali kita selaras dengan dharma. Terakhir, ketika kita mengambil jalan sannyasa dan maksimal di sana, kita pun selaras dengan dharma. Jadi, hidup dari lahir sampai mati hanyalah menjalankan dharma, tidak ada yang lain dari itu. Bagaimana dharma itu bisa dikerjakan? Karena dharma itu bisa berlangsung melalui tubuh, maka artha dan kama diperlukan. Artha adalah materi yang menyokong kehidupan fisik dan kama adalah daya dorong yang membuat kita tetap semangat menjalankan dharma itu. Tanpa artha dan kama, mustahil dharma bisa berjalan baik.

Bagaimana agar perjalanan itu bisa dipahami dan hambatan-hambatan yang ada dapat diatasi? Metodenya dinyatakan oleh teks di atas. Jadilah seperti sapi yang dipakai untuk membajak, saat ia mondar-mandir keliling dengan alat bajak, sapi itu sambil berjalan mencoba mengambil rumput di sisi kanan dan kiri ladang kemudian memakannya. Seperti itulah hidup. Porosnya adalah menjalankan dharma, kemudian hasil materi yang diperoleh untuk kebutuhan pribadi ada di sepanjang perjalanan itu dan kita bisa mengambilnya. Dengan cara seperti ini, membajak ladang dharma selesai dan tubuh pun tetap terpelihara dengan baik. Dibandingkan sapi itu hanya fokus pada makanan di sisi dan kanan ladang, maka ladang tidak digemburkan. Demikian juga jika kita hanya fokus pada urusan perut dan duniawi lainnya, dharma yang seharusnya kita jalankan malah ditinggalkan.

Dikatakan oleh hampir semua teks suci bahwa mereka yang lupa menjalankan dharma, oleh karena terjebak dalam artha dan kama, seperti sapi itu hanya makan rumput di kanan dan kiri ladang, maka hidup kita itu sia-sia. Ketika kita lahir, kita telah disiapkan sapi pikiran dan peralatan lainnya untuk membajak ladang kehidupan, sehingga ladang itu subur dan bisa ditanami berbagai jenis tanaman yang diperlukan untuk hidup. Jika sapi pikiran kita dibiarkan liar, maka ia hanya akan merumput saja dan tidak jadi membajak. Tanah akan tetap tidak digemburkan dan tidak akan bisa ditanami apa-apa. Jika sepanjang hidup kita seperti itu, maka selamanya kita tidak menyuburkan ladang diri kita. Inilah yang akhirnya menimbulkan penderitaan, yakni ketidakmampuan kita menggunakan sapi pikiran kita dengan baik untuk membajak sawah. Sapi itu harus digunakan dan biarkan dia sambil berjalan mendapatkan makanan, sebab itu telah menjadi instingnya. Sapi pikiran kita memiliki insting yang kuat untuk menemukan makanannya, sehingga kita tidak perlu banyak memikirkannya. Yang terpenting adalah bagaimana kita mampu agar ladang dharma kita terbajak dengan baik. Bila ini bisa dilaksanakan, maka sapi pikiran kita puas dan kewajiban spiritual kita untuk kembali ke Sangkan Paran juga terlaksana. Hidup kita pun akan menjadi berarti. Slogan ‘mokshartam jagadhita ya ca iti dharma’ bisa berjalan maksimal dalam masa hidup kita. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fakultas Brahma Widya, IHDN Denpasar
          

Komentar