nusabali

Prof Pemayun Orasi Ilmiah Soal Teknologi Produksi Sapi Bali

  • www.nusabali.com-prof-pemayun-orasi-ilmiah-soal-teknologi-produksi-sapi-bali

Versi Prof Dr Drh Tjokorda Gde Oka Pemayun MS, sapi Bali merupakan plasma nuftah bangsa sapi potong Indonesia keturunan banteng yang memiliki beberapa keunggulan, namun populasinya terus menurun. Pihaknya pun perkenalkan teknologi reproduksi dengan transfer embrio

Akademisi Baru Dikukuhkan Sabtu Kemarin, Unud Kini Miliki 167 Guru Besar

MANGUPURA, NusaBali
Universitas Udayana (Unud) kukuhkan enam Guru Besar Tetap sekaligus dalam acara yang digelar di Gedung Widya Sabha Kampus Bukit Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Sabtu (18/11). Salah satunya, Prof Dr Drh Tjokorda Gde Oka Pemayun MS, Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Reproduksi Veteriner dari Fakultas Kedokteran Hewan Unud, dengan judul orasi ilmiah ‘Pemanfaatan Teknologi Reproduksi Bidang Kedokteran Hewan dalam Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Sapi Bali’.

Sedangkan lima guru besar lainnya yang dikukuhkan Unud hari itu adalah Prof Dr Ir Anak Agung Ayu Saraswati MT (memperoleh gelar Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Perancangan Arsitektur, Fakultas Teknik Unud), Prof Putu Alit Suthanaya ST MEng Sc PhD (Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Transportasi, Fakultas Teknik Unud), Prof Ir I Gusti Bagus Sila Dharma MT PhD (Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Teknik Pantai, Fakultas Teknik Unud), Prof Dr Ir Syamsul Alam Paturusi MSP (Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Perencanaan Kota, Fakultas Teknik Unud), dan Prof Dr I Nyoman Sedeng MHum (Guru Besar Tetap pada Bidang Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya Unud).

Rektor Unud, Prof Dr dr AA Raka Sudewi SpS (K), mengatakan dengan dikukuhkannya enam orang Guru Besar Tetap tersebut, kini Unud telah memiliki total 167 guru besar yang tersebar di beberapa fakultas. Prof Raka Sudewi memaparkan, perkembangan jumlah guru sesar selama 6 tahun terakhir menunjukkan trend yang positif.

Dalam kurun waktu 2011-2017, kata dia, terjadi penambahan 61 guru besar yang dikukuhkan Unud. “Setiap tahunnya jumlah Guru Besar Unud bertambah sebanyak 4-9 orang. Pada tahun 2010, Guru Besar Unud hanya berjumlah 124 orang, sekarang berkembang menjadi 167 orang,” papar guru besar dari Fakultas Kedokteran yang baru beberapa bulan dikukuhkan menjadi Rektor Unud ini.

Prof Raka Sudewi menegaskan, meski ada penambahan yang signifikan, namun ada 9 guru besar yang pensiun dan 3 guru besar yang meninggal dunia. Mengingat guru besar yang menjabat saat ini kebanyakan berumur 60 tahun ke atas, menurut Prof Raka Sudewi, dalam 5 tahun ke depan perlu dilakukan antisipasi terkait penurunan jumlahnya.

Untuk itu, sejumlah kebijakan terus dilakukan Unud. Di antaranya, memacu pengelolaan jurnal di lingkungan Unud menjadi Jurnal Internasional dan Terindeks Scopus. Menyediakan fasilitas dapur jurnal yang menampung semua artikel dosen agar dapat diterbitkan di Jurnal Internasional, serta melakukan pendampingan publikasi agar artikel layak dipublikasikan. Termasuk juga merancang skim penelitian baru untuk mempercepat dosen memperoleh guru besar melalui program Publikasi dan Promosi Guru Besar (P2GB), serta merangsang dosen yang telah mampu menghasilkan artikel internasional bereputas berupa remunerasi dan mengganti biaya publikasi.

Sementara itu, Prof Dr Drh Tjokorda Gde Oka Pemayun MS mengandalkan orasi ilmiah berjudul ‘Pemanfaatan Teknologi Reproduksi Bidang Kedokteran Hewan dalam Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Sapi Bali’ untuk meraih gelar guru besar. Prof Tjok Oka Pemayun menyatakan, menurunnya populasi sapi Bali belakangan ini menjadi perhatian khusus. Pasalnya, sapi Bali merupakan plasma nuftah bangsa sapi potong Indonesia keturunan banteng, yang memiliki beberapa keunggulan dibanding sapi potong daerah tropis lainnya.

Menurut Prof Oka Pemayun, beberapa peneliti telah melaporkan bahwa sapi Bali memiliki daya tingkat kesuburan yang sangat tinggi untuk menghasilkan keturunan baru mencapai 83 persen. Selain itu, sapi Bali juga memiliki karkas yang berkualitas baik sekitar 57 persen dan mampu bertahan hidup pada lingkungan yang jumlah pakannya terbatas atau kualitas pakan yang kurang baik.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah populasi sapi Bali cenderung mengalami penurunan. Ini dilihat berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik bahwa terjadi penurunan populasi sapi Bali dari tahun 2012 yang mencapai 651.216 ekor anjlok drastis menjadi 559.517 ekor tahun 2016.

Prof Oka Pemayun memaparkan, ada beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan populasi sapi Bali. Antara lain, karena berkurangnya lahan pertanian, tingginya angka pemotongan yang tidak seimbang dengan angka kelahiran, dan beberapa jenis penyakit yang menyerang sapi Bali.

Penurunan populasi sapi Bali ini menjadi fokus utama masalah yang ditemukan Prof Oka Pemayun. Karenanya, dalam orasinya dia menyebut, salah satu upaya agar kuantitas dan kualitas sapi Bali bisa ditingkatkan adalah dengan memanfaatkan teknologi reproduksi, salah satunya teknologi transfer embrio.   

“Teknologi transfer embrio ini, sumber embrionya bisa kita gunakan dari rumah potong hewan. Sapi-sapi yang dipotong di sana merupakan sumber dan bisa juga dari induk unggul. Sehingga, induk unggul ini tidak harus bunting. Tapi, hanya menghasilkan embrio melalui superovulasi, kemudian kita transfer,” ungkap Prof Oka Pemayun kepada NusaBali seusai pengkuhan guru besar hari itu.

Pada prinsipnya, kata dia, teknologi memproduksi embrio ini untuk mempertahankan keberadaan dari sapi Bali. Teknologi ini sebenarnya sudah lama, namun di Bali belum pernah dilakukan. “Memang kami masih baru mengarah ke penelitian itu. Kami di Unud baru merintis, tapi kalau di luar Bali itu sudah. Seperti di Bogor dan Singosari, itu sudah menghasilkan embrio, cuma embrionya tidak bisa dibawa ke sini (Bali), karena ada larangan Pemprov Bali untuk memasukkan sapi selain sapi yang ada di Bali,” bebernya.

Fakultas Kedokteran Hewan Unud, kata Prof Oka Pemayun, sekarang merintis pembuatan embrio sapi Bali. Teknologi akan dilakukan dengan mengambil embrio dari hewan hidup, kemudian melalui proses superovulasi. “Kalau ini (embrio, Red) tidak dipakai, nanti akan digunakan sebagai embrio beku. Nah, embrio beku ini bisa bertahan hingga 10 tahun lebih,” papar Prof Oka Pemayun.

Untuk membuat gebrakan ini, pihaknya akan bekerjasama dengan Pemprov Bali dalam melakukan penelitian serta pengembangan lebih lanjut tentang teknologi reproduksi. “Kami akan kerjasama dengan Pemprov Bali. Pemprov kan mempunyai sapi Bali sekitar 300 ekor betina di Sobangan. Nah, itulah yang nantinya kami gunakan sebagai tempat riset. Untuk laboratoriumnya, ada di kami (Unud).” *ind

Komentar