nusabali

Permakultur

  • www.nusabali.com-permakultur

Istilah ‘permaculture’ sebagai sebuah metode sistematis pertama kali diciptakan oleh Bill Mollison dan David Holmgren pada tahun 1978.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD

Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Istilah ‘permaculture’ mengacu kepada ‘permanent agriculture’, namun berkembang menjadi ‘permanent culture’, karena terinspirasi oleh filosofi pertanian alami Fukuoka yang menjadi sebuah budaya.

Lebih luas permakultur merupakan sebuah filosofi ‘bekerja dengan alam bukan melawan alam’, pengamatan teliti bukan pengamatan sekilas’, ‘melihat flora dan fauna dalam keseluruhan fungsinya bukan memperlakukan keduanya sebagai satu sistem produksi’.

Permakultur sudah dipraktikkan sejak lama di Bali. Ketika seorang undagi membangun, ia selalu memperhatikan lingkungan sebagai sebuah hubungan secara menyeluruh. Bangun yang distruktur merupakan bangunan alami. Bangun tersebut biasanya melibatkan sistem dan bahan bangunan yang menekankan pada keberlanjutan lingkungan. Untuk keberlanjutan, para undagi memperhatikan ketahanan struktur dan penggunaan bahan. Bahan diproses secara minimal atau bahan hasil daur ulang. Atau, menggunakan sumber daya terbarukan, tidak beracun, dan mempertahankan kualitas udara dalam ruangan.

Demikian juga subak. Pendekatan yang digunakan terintegrasi antara manusia, alam, dan Sang Maha Pencipta. Pemanfaatan air diinteraksikan dengan hewan maupun tanaman. Teknologi tradisional diterapkan sebagai sebuah kearifan lokal. Dalam budaya subak, tanaman, semak, dan pematang sawah digunakan dalam sistem pemanfaatan air secara beragam, produktif, menguntungkan, sehat, dan berkelanjutan. Semestinya pariwisata juga harus mengikuti filosofi premakultur. Pemanenan usaha pariwisata harus dapat dikumpulkan, disimpan untuk kemudian digunakan sebagai air minum sanitasi kebudayaan Bali. Seharusnya juga, hasil pariwisata dapat menambah kontribusi penyediaan lapangan kerja bagi krama Bali. Pariwisata budaya layaknya pengumpulan air hujan yang dapat ditampung, disimpan untuk kemudian digunakan sebelum mencapai akuifer.

Dalam pertanian dan praktik berkebun, mulsa adalah lapisan pelindung untuk menutupi tanah. Setiap benda yang bisa digunakan sebagai mulsa meliputi bebatuan, kerikil, dedaunan, papan kayu, serpihan kayu, dan sebagainya. Dalam permakultur, mulsa berbahan organik diutamakan karena memiliki fungsi lebih, yaitu menyerap air hujan, mengurangi penguapan, menyediakan nutrisi, meningkatkan kadar organik tanah, menyediakan habitat bagi organisme tanah, menahan pertumbuhan gulma, mengatur perubahan temperatur harian tanah, melindungi dari pembekuan, dan mengurangi erosi.

Apakah premakultur dapat diterapkan dalam bidang pendidikan? Apakah penyemaian di PAUD tidak menyebabkan kerusakan pada diri anak itu sendiri? Anak usia dini jangan ‘disekolahkan’, tetapi mereka harus bermain secara reguler dan sistematis dalam suasana bermain edukatif. Mereka tidak semestinya diajar berhitung, menulis atau membaca. Anak usia dini hendaknya diberi kesempatan seperti rerumputan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Guru PAUD dapat dianalogkan sebagai seorang penggembala. Biasanya, penggembala menggembalakan hewan ternaknya pada rerumputan. Mereka diberi kesempatan memenuhi kebutuhan bukan memaksakan kehendaknya. Anak usia dini diberi keleluasaan untuk menentukan pilihan dan kebutuhan bermainnya, bukan diskenariokan menurut guru. Di Indonesia, umumnya peran guru lebih dominan ketimbang murid. Kurikulum sering berganti-berubah secara drastik. Di Swedia kurikulum berubah secara gradual, hanya ada penyesuaian dan penyempurnaan. Sedangkan, kurikulum di Indonesia dinamai sesuai dengan tahun kelahirannya, misalnya Kurikulum 1998, Kurikulum 1975, Kurikulum 2013. Substansi kurikulum tidak serta merta menuju suatu pembaharuan, apalagi menjadikan murid menyikapi belajar sebagai budaya. Budaya mutu tidak serta merta bertumbuh dan berkembang dengan diubahnya kurikulum di sekolah. Semoga premakultur dapat mengubah keburukan sekolah menjadi sebuah budaya mutu yang berkelanjutan. *

Komentar