nusabali

Buku Terbatas, Naik Motor ke Sekolah Urunan Beli Bensin

  • www.nusabali.com-buku-terbatas-naik-motor-ke-sekolah-urunan-beli-bensin

Para orangtua terpaksa mengurangi jatah uang saku, terutama bagi anak yang sudah SMP. Karena selama mengungsi, mereka tidak memiliki penghasilan sementara uang bekal mulai menipis.

Mengintip Uang Saku Para Siswa Korban Bencana Gunung Agung yang Sekolah di Pengungsian


SINGARAJA, NusaBali
Anak-anak usia sekolah di tempat pengungsian di wilayah Kabupaten Buleleng masih tetap bisa mengenyam pendidikan. Namun mereka mendapatkan kembali ‘dunia’ pendidikannya dengan kondisi serba terbatas. Mereka tidak bisa belajar penuh seperti di tempat asalnya di Kabupaten Karangasem. Waktu, tempat, dan buku pelajaran yang dimiliki serba terbatas. Ke sekolah pun mereka kadang diantar orangtua dengan jatah uang saku yang pas-pasan. Karena keterbatasan uang saku, beberapa siswa SMP pilih urunan beli bahan bakar minyak (BBM) agar bisa ke sekolah naik motor.

Jumlah anak-anak usia sekolah yang ikut mengungsi ke wilayah Buleleng terbilang cukup banyak. Dinas Pendidik, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Buleleng, mencatat jumlah murid TK, SD, dan SMP sebanyak 2.600 jiwa. Jumlah itu belum termasuk anak-anak yang duduk di bangku SMA/SMK yang diperkirakan mencapai ratusan jiwa.

Mereka ini berasal dari desa-desa yang ada di wilayah Kecamatan Kubu, Karangasem, seperti Desa Tulamben, Kubu, Sukadana, Ban, Dukuh, Baturinggit, Tianyar, dan desa lainnya. Mereka ini ikut mengungsi karena diajak orangtuanya akibat desa mereka ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana (KRB). Sebagian besar mengungsi sejak Jumat (22/9) lalu, kemudian jumlah mereka terus bertambah selama sepekan. Mereka tersebar hampir di sembilan kecamatan yang ada di Buleleng. Terbanyak ada di wilayah Kecamatan Tejakula, karena wilayahnya paling dekat dengan daerah asalnya mereka di Kecamatan Kubu.  

Nah, selama di pengungsian, anak-anak usia sekolah ini mengalami banyak keterbatasan dalam menjalani ‘dunianya’ sebagai pelajar. Hampir sepekan sejak mengungsi ke wilayah Buleleng, mereka belum bisa menempuh pelajaran. Karena mereka belum mendapat kepastian sekolah di mana di daerah pengungsian. Setelah dilakukan pendataan, mereka kemudian diarahkan bersekolah di sekolah terdekat dengan lokasi pengungsian. Bagi siswa SD bisa mendapat sekolah terdekat, karena semua desa yang menjadi tempatnya mengungsi ada sekolah dasar. Sedangkan bagi siswa SMP, mereka harus bersekolah cukup jauh karena di tempatnya mengungsi tidak ada SMP.

Bagi siswa SD, kendati mendapat sekolah terdekat, namun mereka harus bersekolah sore. Mereka ini tidak bisa sekolah pagi, karena jumlahnya cukup banyak. Seperti terlihat di SDN 1 Desa Tembok, Kecamatan Tejakula. Karena jumlahnya mencapai 197 orang, mereka diberikan kelas sore. Sedangkan untuk yang SMP, ada yang sekolah pagi, ada pula yang sore.

Para siswa ini juga mengalami keterbatasan buku, baik buku pelajaran maupun buku tulis. Karena untuk buku pelajaran, selama ini mereka mendapat dari sekolah berupa buku paket untuk 2 orang. Namun karena mereka terpencar dalam pengungsian, sehingga ada yang tidak mendapat buku paket. “Buku anak-anak yang kurang, kadang tidak ada buku pelajaran. Buku tulis juga sudah ada yang mau habis,” kata Nyoman Kariasa, orangtua siswa dari Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, yang ditemui di pengungsian Desa Tembok, Jumat (13/10).

Selain keterbatasan sarana belajar, jatah uang saku mereka juga dibatasi. Selama ini para orangtua tetap memberikan uang saku bagi anak-anak yang bersekolah. Rata-rata para orangtua mengaku tetap memberikan uang saku pada anak-anaknya tiap ke sekolah sebesar Rp 5.000 untuk SD, dan Rp 10.000 untuk SMP. Untuk tingkat SD tidak ada perbedaan ketika belum mengungsi. Namun untuk tingkat SMP, ada pengurangan dari Rp 20.000 menjadi Rp 10.000.

Pengurangan ini untuk pengiritan karena para orangtua ini tidak punya lagi penghasilan. Praktis uang bekal yang dibawa dari kampung selama pengungsian hanya untuk anak-anak yang ke sekolah. “Bawa bekal dari kampung, saya juga khawatir kalau habis mau cari ke mana lagi,” ujar Ni Nyoman Sulastini dari Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Menurut Sulastini, uang bekal yang dibawa mengungsi hasil penjualan ternak babi. Ia hanya menjual ternak babinya sebanyak 4 ekor, dari 6 ekor babi miliknya. Ternak babinya itu dijual murah karena sudah kepepet. “Dijual murah, biar ada bekal mengungsi saja. Laku cuma 2 juta rupiah kurang,” ujarnya.

Sementara akibat jatah uang saku dikurangi, anak-anak pengungsi terpaksa urunan beli bensin agar bisa bawa motor ke sekolah. Pengakuan ini disampaikan seorang siswa kelas VII, Ni Komang Sukemi. Sebelum mengungsi Sukemi sekolah di SMPN 5 Kubu, kini dia sekolah di SMPN 2 Tejakula yang berada di Desa Penuktukan, sekitar 2,5 kilometer dari lokasinya mengungsi di Desa Tembok. Untuk pergi ke sekolah, Sukemi mengaku dibonceng temannya dari satu kampung, Desa Dukuh. Untuk bisa ke sekolah dengan naik motor, Sukemi mengaku terpaksa urunan beli bensin seharga Rp 10.000. “Sekolahnya jauh, saya dijemput sama teman. Nanti beli bensinya sama-sama keluarin uang, saya Rp 5.000, teman juga sama,” katanya.

Masih kata Sukemi, sisa uang saku yang diberikan, dia cukupkan untuk bekal beli jajan di sekolah. “Kalau dibilang tidak cukup, ya tidak cukup, paling hanya dapat beli minum saja. Tapi mau gimana lagi, segitu dikasih,” ujarnya. *k19

Komentar