nusabali

Gunung Agung dalam Lontar Bali

  • www.nusabali.com-gunung-agung-dalam-lontar-bali

Setidaknya ada 15 kali peristiwa mengenai bencana Gunung Agung sejak abad ke-11 (tahun 1005) sampai 1963

Selain 1963, Tahun 1711 Diyakini Ada Bencana Hebat


DENPASAR, NusaBali
Meletus atau tidaknya Gunung Agung, dan sedahsyat apa letusan bilamana terjadi, hingga kini masih menjadi misteri. Manusia bahkan ahli vulkanologi sekalipun hanya bisa memprediksi, tetapi peristiwa alam tetap menjadi rahasia Yang Maha Kuasa.

Berdasarkan catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Gunung Agung dengan ketinggian 3.142 mdpl itu punya sejarah panjang letusan. Sudah pernah empat kali meletus sejak 1800, diantaranya terjadi pada tahun 1808, 1821, 1843, dan terakhir adalah pada 1963. Namun, jauh sebelum itu, ternyata ada catatan mengenai peristiwa kebencanaan Gunung Agung yang terungkap dalam lontar-lontar Bali.

Pendiri Hanacaraka Society, Sugi Lanus, mengatakan, dalam tradisi tulis di Bali yang tertulis di atas daun lontar dalam berbagai metrum atau genre penulisan, terdapat beberapa naskah warisan yang memuat ‘candrasangkala’, yakni tahun iśaka yang dicatat dengan pralambang atau simbol sandi kata, kemudian diuntai dalam kalimat yang spektrum pembicaraannya menyangkut tahun-tahun penting pemerintahan, penobatan dan kematian raja, pemberontakan dan huru-hara politik, pendirian candi dan bangunan suci lainya, dinamika masyarakat serta berbagai peristiwa bencana alam yang dinilai penting.

Nah, terkait kebencanaan yang terjadi di Gunung Agung, Sugi Lanus mengungkapkan, setidaknya ada 15 kali peristiwa mengenai bencana Gunung Agung sejak abad ke-11 (tahun 1005) sampai 1963. Ini berdasarkan catatan Sugi Lanus yang dirujuk dari tiga naskah, yakni Babad Gumi (versi lontar Pusdok dan salinan Kirtya 719/3.Va), Babad Tusan (versi salinan Kirtya 4916/Va dan 1443.Va), dan Tattwa Batur Kalawasan (versi salinan Kirtya 6476/IIIb, 3049/IIIb, 3578/IIIb, 6789/IIIb). Ditambah lagi dengan rujukan dari beberapa temuan oleh dua peneliti, Helen Creese dan Han Hagerdal adalah dua peneliti yang sempat berpolemik tentang tahun-tahun ‘candrasangkala’ di Bali.

“Kalau yang saya baca dari ketiga naskah itu, dari tahun 1005 sampai 1963 ada 15 peristiwa di tiga naskah itu. Di naskah-naskah lain, tidak sejelas itu, makanya tidak saya kutip,” ungkap Sugi Lanus dalam diskusi Hanacaraka mengenai Gunung Agung dalam catatan lontar di Bali, di I’l Podomoro Italian Restaurant, Denpasar, Senin (2/10).  

“Dalam naskah itu, catatan gunung hanya ada tiga paragraph. Namun, saya pikir tiga sumber naskah rujukan ini cukup jadi rujukan bagi naskah-naskah yang lain, karena khusus membahas angka-angka tahun, yang menjelaskan banyak hal, mulai dari dinamika sosial, pendirian tempat peribadatan, raja, termasuk peristiwa alam yang dinilai penting,” jelasnya.

Sugi Lanus menceritakan, sekalipun naskah lontar ini secara sangat rapi menyurat ‘candrasangkala’, namun sangat dibutuhkan kehati-hatian dalam memverifikasi ‘kebenaran historis’ dari peristiwa yang disebut, perlu keseriusan dalam membandingkan dengan berbagai naskah. Menurutnya, ada banyak tafsir dari catatan lontar tersebut.

Menurutnya, dari sekian peristiwa, pada tahun 1711 diyakini pernah terjadi peristiwa besar di Gunung Agung. Berikut isi naskahnya; ‘Duk rikalaning bau mara         maledos banyuedang ring Tulangkir, mili angaling sahing Tulangkir, tur amademang janma sahane ring desa Tulangkir dan saka wawengkan, telas kapademang antuk toyeedang punika wreh balabur agung, semalih kebus gamulak, wastan desa sane padem janma punika antuk toyeedang  punika ring desa Bukit, Caukcuk, Bantas, Kayuaya, Kayupetak, Tanjung, Rijasa, Mandala, rauh ring toya Getas, Pagametan patih agung, sani punika jron Punggawa, minakadi kratone ring Tulangkir, tur bale agunge irika ring Tulangkir mabiseka I Gusti Ngurah Baleagung, sentanan  I Gusti Tan Kundur [Mundur], Wesya Majalangu, kari magantulan preputran anake agung tigang diri, rarude dados malinggih ring desa Pangaruhan, raris kawinastanan desa Kalipaksa, muah desa Kalisada desa Tukad Sumaga, wireh pecak seson anyudang kala kali, punika kasuratang antuk sang  prabu ring  Blangbangan, rusake p
unika rikala lemah, tenghah ng’we, ring dina Surya Gni, wara   Ugu, titi tanggal ping 3, Palguna masa, isaka siki guna karange awani, 1651 [1633?]’.  

Menurutnya, memang dari sekian catatan peristiwa yang tergambar dalam lontar-lontar Bali tidak secara khusus menjelaskan mengenai meletusnya Gunung Agung. Namun pada isi naskah tersebut diyakini terjadi letusan hebat Gunung Agung terjadi pada tahun 1711 masehi. “Jika diterjemahkan, begini. Ada peristiwa baru meletus berupa air panas di Tohlangkir (Gunung Agung, red), dan menewaskan orang-orang sedesa di Tohlangkir. Habis meninggal desa oleh air panas itu. Nah, entah tahun 1711 atau 1963 yang melestus lebih dahsyat, saya tidak berani membandingkan. Tapi dalam lontar telah tertulis, tahun 1711 pernah terjadi letusan,” katanya.

Lanjutnya, pada tahun itu, air panas sampai merusak desa-desa seperti Desa Bukit, Caukcuk, Bantas, Kayuaya, Kayupetak, Tanjung, Rijasa, Mandala, Pagametan (Gerogak, Buleleng), serta wilayah lainnya seperti Tamblingan. Menurutnya, pada situasi itu ada dua kemungkinan. Desa tersebut memang terkena langsung dampak bencana, atau peristiwa terjadi, warga desa di Buleleng itu seluruhnya  sedang sembahyang di Pura Besakih sehingga terkena bencana langsung. “Bisa jadi mereka sedang sembahyang di Besakih kemudian kena bencana ini,” katanya.

Pada tahun 1711 juga dijelaskan ada gelombang pengungsian hebat. Dia juga menyebutkan, akibat letusan pada tahun 1711, peradaban masyarakat Bali harus terhenti.  “Waktu itu masih zaman Singosari dan peradaban masyarakat Bali harus terhenti dan diadakan upacara ruwatan besar oleh Kerajaan Singosari,” bebernya.

Sementara dalam catatan bencana Gunung Agung terakhir yang meletus tahun 1963, Ida Pedanda Made Sidemen dalam kolopon lontar ‘Pūjā Pañambutan’ yang disalinnya punya pangéling-éling (pesan pengingat) tentang letusan Gunung Agung tahun 1963, yang diikuti kekacauan politik tahun 1965.

Isi kolopon lontar tersebut, yang sebenarnya tiada berhubungan dengan isi lontarnya, yang tidak lain adalah lontar tentang ‘Pūjā Pañambutan’ yang berisi mantra atau puja, sekilas menyebut rangkai peristiwa dan musibah, Yang diterjemahkan sebagai berikut ; Meletus Gunung Agung keluar lahar (api), hujan abu berhamburan batu tahun iśaka 1884 (1963 M). Tahun iśaka 1887 (1965 M), hancur masyarakat oleh partai. Bulan ke empat (perhitungan sasih), tanggal 5, bintang kukus di langit timur, rubuh tepian, menghayudkan dua batu, di pantai Intaran, besarnya sebesar rumah

Dari kolopon lontar ‘Pūjā Pañambutan’, menurut Sugi Lanus, kita diajak eling, menjaga keheningan batin, mulat sarira dan merenung. “Dari ‘pangéling-éling’ dalam karya beliau kita sekarang diajak bercermin dan berpikir bijak. Semoga segera Gunung Agung kembali tenang dan tidak pernah terulang lagi bencana ricuh partai yang menewaskan ratusan ribu krama Bali itu,” kata Sugi Lanus dalam catatannya. *in

Komentar