nusabali

Made Titib Batal Gelar Diksa Pariksa

  • www.nusabali.com-made-titib-batal-gelar-diksa-pariksa

PHDI tidak hadir di upacara diksa pariksa I Made Titib karena syarat administrasinya tidak sesuai amanat paruman PHDI.

AMLAPURA, NusaBali

Guru besar Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Prof Dr I Made Titib PhD, yang telah bergelar Ida Bawati Made Titib, batal menggelar acara diksa pariksa pada Anggara Paing Tolu, Selasa (19/9). Alasannya, warga setempat masih mengungsi dan pihak PHDI Karangasem berhalangan datang.

Agenda diksa pariksa belum bisa dijadwalkan kembali, hal itu tergantung dari PHDI Karangasem. Ketua Panitia Diksa Periksa lan Sulinggih I Wayan Darma, mengungkapkan, agenda diksa pariksa pada Anggara Paing Tolu, Selasa (19/9), di Banjar Gede, Desa Muncan, Kecamatan Selat. Pihak Ida Bawati Made Titip beserta istrinya Ida Bawati Istri Ketug Supariani, telah siap mengikuti tahapan diksa pariksa, termasuk menyiapkan syarat administrasi.

Tiga guru nabe juga telah siap muput upacara, sekaligus memberi nama sang sulinggih. Ketiga guru nabe adalah nabe napak Ida Pandita Mpu Nabe Dukuh Jayati dari Gria Agung Nataran Banjar Badeg, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Karangasem, nabe saksi Ida Pandita Mpu Nabe Siwa Putra Parama Daksa Manuaba dari Gria Bongkasa, Badung, dan Nabe Watra adalah Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Putra Pemuteran dari Gria Penataran Renon, Denpasar.

“Kami masih menunggu agenda diksa periksa lebih lanjut dari PHDI Karangasem,” kata Wayan Darma, Selasa kemarin.

Ketua PHDI Karangasem I Wayan Astika mengakui, tidak datang di acara diksa pariksa itu. Ketidakhadirannya bukan disebabkan adanya kesibukan lain, tetapi disebabkan persoalan teknis. Dipaparkannya, kewenangan PHDI telah diamanatkan dalam ketetapan Maha Sabha PHDI II No V/KRP/PHDI/68 tentang Tata Keagamaan Kasulinggihan, Upacara, dan Tempat Suci. Syarat-syarat itu yakni, laki-laki yang sudah kawin, yang nyukla brahmacari, wanita yang sudah kawin, wanita yang tidak kawin (kanya), dan pasangan suami istri. Usia dewasa di atas 40 tahun. Paham bahasa kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran agama (filsafat, etika, dan ritual). Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu, tidak cedangga dan berbudi luhur. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut kasus hukum. Mendapat tanda kesediaan dari pandita calon nabenya (guru) yang akan menyucikan.

“Kami tidak hadir karena syarat administrasinya tidak sesuai amanat paruman PHDI,” tutur Wayan Astika.

Wayan Astika menambahkan, bisa saja yang bersangkutan menggelar upacara dwijati, tanpa melalui upacara diksa pariksa, hal itu tidak ada larangan. Bahkan upacara dwijati juga bisa dilakukan, untuk krama di bawah umur, tanpa melalui diksa pariksa, hal itu telah dilakukan di beberapa tempat. Tetapi belum tercatat di PHDI.

Menurut Wayan Astika, setelah lolos diksa pariksa, nantinya PHDI mengeluarkan keputusan izin madiksa, surat keputusan itu dibacakan di puncak upacara. Sebab, makna diksa pariksa adalah proses pencapaian penyatuan dengan kekuatan Brahman, dan mengikatkan hubungan guru nabe (acarya) dengan murid (sisya).

Wayan Darma ketika dikonfirmasi kembali terkait pernyataan Ketua PHDI I Wayan Astika, sangat menyayangkannya. Sebab, pernyataan itu terkesan mendadak jelang upacara dilaksanakan. “Ya, tidak apa-apa, upacara dwijati tetap jalan terus sesuai agenda,” ujarnya. *k16

Komentar