nusabali

Berkat Penelitian Ampas Tahu, Tim SMAN 3 Denpasar Raih Perak di India

  • www.nusabali.com-berkat-penelitian-ampas-tahu-tim-sman-3-denpasar-raih-perak-di-india

Dua pelajar SMAN 3 Denpasar, IGN Kusadhara Prema Dyotavaro, 17, dan Ketut Utari Mustika Putri, 17, sukses meraih medali perak dalam ajang India International Inovation Fair di India, 7-9 September 2017.

DENPASAR, NusaBali
Keduanya berjaya berkat karya ilmiah (penelitian) superkapasitor dari bahan ampas tahu. Menariknya, dalam lomba karya ilmiah yang melibatkan perwakilan dari 31 negara tersebut, kedua siswa SMAN 3 Denpasar ini hanya kalah dari rekannya sesama asal Indonesia, yakni mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan Universitas Sumatra Utara (USU) Medan, yang kebagian medali emas. Uniknya lagi, hasil penelitian yang dipresentasikan mahasiswa Undip hampir sama dengan Kusadhara Prema dan Utari Mustika.

Mahasiswa Undip mempresentasikan penelitian hanya bagian dalam dari superkapasitor, dengan berbahan limbah tempurung kelapa. Sedangkan penelitian siswa SMAN 3 Denpasar mengangkat tentang superkapasitor dari limbah ampas tahu. Hanya saja, pengujian untuk penelitian Undip dinilai lebih lengkap, sehingga berhak atas medali emas dalam ajang India International Inovation Fair ini.

“Sebenarnya, kalau secara materi, mereka (mahasiswa Unip) sama seperti kami. Cuma, pengujiannya lebih banyak. Mereka menggunakan limbah tempurung kelapa, yang sebenarnya limbah tersebut masih bisa digunakan. Sedangkan kami menggunakan limbah ampas tahu yang pemafaatannya sangat jarang dan juga mencemari lingkungan,” ungkap Kusadhara Prema yang diwawancara NusaBali per telepon dalam perjalanan pulang dari India ke Denpasar, Rabu (13/9).

Menurut siswa kelahiran Denpasar, 23 Februari 2000 ini, penelitian mahasiswa Undip terfokus pada elektroda (bagian dalam dari superkapasitor). Sedangkan Kusadhara dan Utari Mustika mewujudkan limbah ampas tahu itu menjadi superkapasitor, yang bahkan sempat diuji daya tampungnya. “Mereka (Undip) cuma buat elektroda, sehingga tidak menguji kapasitas yang dapat ditampung oleh elektroda tersebut. Sedangkan produk kami adalah superkapasitor itu sendiri dan sudah diuji. Memang, pengujian mereka yang lebih lengkap,” ujar putra dari pasangan I Gusti Ngurah Wirajasa dan Ni Putu Suriantari yang tinggal di Jalan Sentanu II Nomor 9 Peguyangan, Denpasar Utara ini.

Penelitian Kusadhara dan Utari Mustika berawal dari pengamatan ampas tahu di pabrik-pabrik tahu yang ada di Kota Denpasar. Dari survei yang mereka lakukan terhadap 15 persen pabrik tahu di kota Denpasar, sebuah pabrik tahun rata-rata menghasilkan 60-75 kg ampas tahu per hari. Ampas tahu ini sangat sayang bila dibuang percuma.

Ampas tahu tersebut diketahui memiliki kandungan karbohidrat, protein, dan serat kasar. Protein dan karbohidrat sama-sama disusun oleh unsur senyawa organik, salah satunya unsur karbon (C). Nah, unsur karbon inilah yang menjadi bahan material superkapasitor---yang berfungsi untuk menyimpan energi, umumnya menggunakan bahan karbon sebagai elektroda.

Penyimpan energi dalam superkapasitor terjadi karena terbentuknya pasangan ion dalam elektrolit dan elektron dalam bahan karbon pada permukaan antara elektrolit dan elektroda karbon. Dengan menggunakan metode eksperimen, alat sederhana ini sudah sempat diuji coba sederhana, dengan menggunakan lampu LED. Hasilnya, dari penelitian yang dilakukan, kedua siswa SMAN 3 Denpasar ini mendapatkan bahwa karbon aktif dari ampas tahu berpotensi sebagai material superkapasitor, karena memiliki tegangan. Lampu LED mampu menyala.

Hasil penelitian Kusadhara dan Utari Mustika membuahkan medali emas dalam lomba karya ilmiah internasional di India. Utari Mustika sendiri mengaku agak kecewa, penelitian yang dipresentasikannya gagal menyabet medali emas karena diungguli tim Undip dan USU. Namun demikian, Utari Mustika tetap bangga bisa pulang membawa medali perak.

Utari menyebutkan, dengan menduduki posisi nomor dua, berarti mereka mampu menyisihkan tim-tim lainnya dari berbagai belahan dunia. Apalagi, lomba karya ilmiah di India ini merupakan ajang bergengsi tingkat internasional yang melibatkan puluhan tim dari 31 negara. “Pas awarding, agak kecewa sih. Soalnya, nggak bisa dapat gold medal (medali emas). Ternyata keluar namanya dapat silver. Tapi, kami tetap bersyukur,” tutur siswi kelahiran Denpasar, 23 Februari 2000 ini.

Utari mengakui, dalam kompetisi di India yang berlangsung selama tiga hari, dia dan Kusadhara sempat tegang juga dan merasa down, karena para pesaingnya mem-presentasikan penelitian yang cukup bagus dan kuat. “Selama tiga hari acara pameran berlangsung, sempat ngerasa nervous dan bad feeling, merasa bakal nggak dapat. Soalnya, saingan dari Indonesia lumayan juga inovasinya. Apalagi, yang dari negara lain. Saya sangat senang bisa sampai ke India, ikut ajang internasional,” cerita Utari, yang merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara keluarga pasangan : I Nyoman Mustika dan Ni Ketut ‘Dogek’ Suartini.

Menurut Utari, tantangan berat saat kompetisi di India adalah kendala bahasa di mana mereka harus memahami aksen India. Sementara dari sisi materi dan produk penelitian, diakui bisa dijelaskan dengan lancar. “Sebenarnya, memahami aksen India-nya yang agak ribet, karena pengucapan mereka beda. Tapi, secara materi, syukur kami bisa bawakan dengan baik. Kebetulan, kami juga dapat special award dari negara Maroko. Kemarin mereka sempat datang ke stand dan nanya-nanya,” kata Utari.

Bisa berlaga dalam ajang internasional di India, kata Utari, memang suatu kepuasan. Tapi, bukan berarti ini menjadi berpuas diri. Utari mengaku tetap akan mengikuti lomba-lomba lainnya untuk memacu diri. “Ini buka akhir dari segalanya. Tetap harus rendah hati dan percaya diri. Saya sendiri akan tetap mencoba lomba-lomba lain, di tingkat kota, nasional, bahkan internasional. Mungkin kami akan melanjutkan penelitian ini, terutama untuk pengujiannya agar lebih lengkap,” tandas Utari, yang selama ikut berjuang di India didampingi langsung ibundanya, Ketut ‘Dogek’ Suartinia. *in

Komentar