nusabali

Rudia Adiputra Raih Gelar Doktor Prodi Kajian Budaya

  • www.nusabali.com-rudia-adiputra-raih-gelar-doktor-prodi-kajian-budaya

Wakil Rektor II Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Drs I Gede Rudia Adiputra MAg, meraih gelar doktor setelah berhasil mempertahankan desertasinya dalam Ujian Promosi doktor, program studi doktor (S3) Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (Unud).

DENPASAR, NusaBali
Ujian digelar di ruang Ir Soekarno, Gedung Purbatjaraka, fakultas setempat, Kamis (24/8). Sidang Promosi Doktor dipimpin Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unud, Prof Dr Luh Sutjiati Beratha MA, yang beranggotakan Prof Dr I Made Suastika SU (Promotor), Prof Dr I Gde Semadi Astra (Kopromotor I), dan Prof Dr Nengah Bawa Atmadja MA (Kopromotor II). Sementara penguji diketuai oleh Prof Dr Phil I Ketut Ardhana SU, dengan anggota Prof Dr I Made Suastika SU, Prof Dr I Gede Semadi Astra, dan Prof Dr Nengah Bawa Atmadja MA (sekaligus sebagai Promotor dan Kopromotor Promovendus), Prof Dr I Wayan Ardika MA, Prof Dr I Nyoman Kutha Ratna SU, Dr Ni Luh Arjani MHum, dan Dr I Wayan Suardiana MHum.

Dalam desertasinya berjudul ‘Pemertahanan Agama Hindu di Desa Adat Kuta sebagai Presentasi Kampung Global’, Promovendus Rudia Adiputra memaparkan, Desa Adat Kuta termasuk desa internasional atau kampung global diakibatkan oleh tingginya tingkat imigran yang mencari penghidupan di Kuta. Kepadatan dan keheterogenan penduduk Desa Adat Kuta ini mengakibatkan terjadinya kompleksitas persoalan kehidupan, termasuk salah satunya pemertahanan agama.

Sebab menurutnya, jika mengingat teori postkolonial, apabila terjadi pertemuan kultur, maka kultur yang imperior selalu dihegemoni oleh kultur superior sehingga terjadi perubahan kebudayaan yang hebat seperti kasus Hawaii dan kasus orang Betawi di Jakarta. “Kami lakukan penelitian di Kuta, karena melihat lebih dari setengah abad Kuta sangat bersentuhan dengan wisatawan mancanegara, domestik, tamiu, termasuk krama tamiu. Dan penduduk Desa Adat Kuta sesungguhnya lebih sedikit dibandingkan jumlah orang yang datang itu. Nah, ada kekhawatiran dari penduduk Desa Adat Kuta jika tidak ada pemertahanan secara strategis terkait nafasnya pariwisata budaya Bali yakni agama Hindu,” ungkapnya.

Dia menambahkan, keadaan penduduk asli yang lebih sedikit jumlahnya dibanding dengan turis dan tamu, sangat potensial dapat memudarkan budaya dan tradisi keagamaan di Desa Adat Kuta. “Kenapa Desa Adat Kuta itu masih eksis? Memang ada suatu strategi yang memang tidak begitu dikenal oleh orang luar, dilakukan oleh krama Desa Adat Kuta. Pemertahanan dilakukan baik secara internal maupun eksternal,” beber akademisi IHDN Denpasar ini. 

Adapun bentuk pemertahanan agama Hindu oleh Desa Adat Kuta dengan berbasis budaya, dilakukan secara internal secara mandiri oleh Desa Adat Kuta sendiri bersama segenap krama dan organisasi sosial keagamaan di bawah payung Desa Adat Kuta. Sementara pemertahanan eksternal dilakukan oleh pemerintah termasuk Kementerian Agama bekerjasama dengan lembaga terkait seperti PHDI serta Majelis Desa Pakraman dengan melaksanakan pembinaan Desa Adat.

“Di samping itu, pihak swasta juga turut berpartisipasi seperti kegiatan lomba penjor dan banten gebogan yang dilaksanakan oleh paguyuban hotel di wilayah Kuta, serta pengruwatan, wayang sapuh leger, bayuh oton oleh Yayasan Pembangunan Desa Kuta,” imbuhnya.

Sementara dampak positifnya dari pemertahanan agama di Desa Adat Kuta, menurut Promovendus Rudia Adiputra, menjadikan Srada Bakti dan perilaku krama tetap kokoh dan terkendali. Krama desa makin maju dan makin kritis dalam beragama, sehingga eksistensi seni budaya pun menjadi tetap lestari. Namun tidak bisa dipungkiri, di balik dampak positif, ada pula dampak negatif. Krama desa jadi lebih banyak memerlukan tenaga, pikiran, waktu, dan dana yang dipakai untuk merawat budaya. Akibatnya, krama desa tidak mampu menggunakan tenaga dan pikiran secara penuh untuk berbisnis dan bersaing dengan tenaga kerja dari luar.

Berkat usahanya dalam pempertahankan desertasi di hadapan penguji, Promovendus Rudia Adiputra lulus dengan predikat sangat baik. Dia resmi menyandang gelar doktor ke-13 di Fakultas Ilmu Budaya Unud dan menjadi doktor yang ke-194 pada program studi doktor (S3) Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Unud. *in

Komentar