nusabali

Martabak Bali, Terang Bulan Sanur

  • www.nusabali.com-martabak-bali-terang-bulan-sanur

Banyak kawan yang bertanya, mengapa cuma untuk belajar ilmu manajemen Wayan mesti kuliah di Jakarta.

Aryantha Soethama

Pengarang

Teman-temannya berujar, “Kalau hanya belajar ilmu ekonomi, malah lebih bagus di Bali saja. Banyak perusahaan besar perhotelan yang bagus-bagus tempat praktik nanti.”

Tapi Wayan bersikukuh menimba ilmu di Jakarta. Alasannya, “Jakarta itu sumber pengetahuan, yang baik maupun yang buruk. Ilmu ekonomi itu ilmu siasat, ilmu bagi mereka yang senang bermain akal dan akal-akalan. Jika ingin menjadi ekonom, ya harus ke Jakarta. Kalau mau jadi pedagang harus belajar di Jakarta.”

“Memangnya kamu akan belajar hal-hal buruk di bidang ekonomi?”

“Ya,” jawab Wayan mantap. “Di metropolitan kita bisa menyimak bagaimana modal digunakan buat mempermainkan akal, untuk melakukan yang buruk, dan hasilnya ditebar untuk kesejahteraan, sehingga yang buruk itu tampak kinclong.”

Pergilah Wayan ke Jakarta, kos di kamar sederhana. Sebagai orang udik ia tak bisa melepas kebiasaan di kota asalnya di Bali. Wayang senang martabak. Ia pun suatu senja mampir ke penjual martabak yang bertebaran jualan di kaki lima. Ia memesan santapan rakyat itu. “Martabak satu Bang, satu terang bulan.”

Penjual yang sibuk menggoreng martabak terheran-heran menatap rekannya yang sedang membuat adonan kue. Si penjual menatap Wayan lama.

“Iya Bang, satu martabak, satu terang bulan,” ulang Wayan.

Si abang mengerjap-ngerjapkan matanya tidak mengerti. “Maaf gan, saya gak jual terang bulan. Yang ada mah martabak doang.”

“Tuh abang lagi bikin kue terang bulan,” ujar Wayan sembari menuding penjual yang sedang membuat adonan tepung dituangkan ke wajan panas.

“Ooooooo kalau yang itu mah martabak manis namanya gan,” ujar si penjual.

Wayang tersenyum, manggut-manggut. “Itu dah yang saya maksud.”

Di Bali, seperti di Jakarta, banyak bisa dijumpai penjual martabak. Mereka pasti juga menjual kue terang bulan. Martabak dan terang bulan seperti suami-istri, selalu hadir bersama-sama di satu rombong. Hampir tak ada penjual martabak yang tidak menjual terang bulan. Di rombong mereka pun selalu bertuliskan ‘jual martabak dan terang bulan’. Tapi di Jakarta beda. Mereka cuma menjual martabak, jenisnya dua, martabak dan martabak manis. Martabak manis inilah yang disebut kue terang bulan. Kalau cari kue terang bulan di Jakarta, gak bakalan ketemu.

Kendati di Bali banyak penjual martabak, tak seorang pun di antara mereka ada orang Bali. Semua penjual martabak itu pendatang, pembelinya beraneka etnik, banyak pula orang Bali. Tentu muncul pertanyaan, mengapa orang Bali tidak berminat menjual martabak plus terang bulan? Bukankah menyajikan makanan ringan itu tidak sulit? Bahannya telur, daun bawang, tepung, lada, bawang putih, bawang merah, bawang bombai, daging ayam atau sapi dicincang, diaduk-aduk dengan telur, digoreng dengan wajan pipih lebar, dibolak-bolak, jadilah sudah. Jika minyak yang digunakan menggoreng berkualitas bagus, aroma martabak mengundang selera menusuk-nusuk hidung sudah terasa begitu martabak setengah matang. Ada martabak yang dicampur jamur dan sosis. Dicampur jamur bukan berarti itu makanan jamuran.

Jika kita keliling Denpasar selepas petang dan mencari martabak khas Bali, tak bakalan ketemu. Wayan ketika pulang liburan ke Bali bertanya kepada rekan-rekannya, mengapa tidak ada martabak dan terang bulan (martabak manis) khas Bali. “Khas Bali itu maksudmu dagingnya babi, bukan ayam?” tanya temannya.

“Bisa juga, tapi paling tidak ada yang dikemas dengan merek dan rasa Martabak Bali. Kalau martabak manisnya Terang Bulan Sanur, misalnya.” sahut Wayan. Teman-temannya tertawa tergelak-gelak. “Ada-ada saja kamu Yan. Kamu aja deh yang bikin itu martabak.”

“Ya, kalau tamat nanti aku mau bikin Martabak Bali dan Terang Bulan Sanur,” sahut Wayan. Apakah dia bersungguh-sungguh atau main-main, cuma Wayan yang tahu. *

Komentar