nusabali

'Novanto Kunci Anggaran e-KTP'

  • www.nusabali.com-novanto-kunci-anggaran-e-ktp

Sederet fakta mengejutkan muncul dalam sidang vonis kasus korupsi proyek e-KTP yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun dengan terdakwa Sugiharto dan Irman, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/7).

Cuma 3 Anggota DPR yang Terima Duit Haram


JAKARTA, NusaBali
Sejumlah nama anggota DPR yang semula disebut menerima aliran duit e-KTP, justru menghilang. Sementara, Setya Novanto disebut kunci anggaran e-KTP.

Dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK sebelumnya, terdapat puluhan anggota DPR 2009-2014 disebut menerima aliran duit haram e-KTP. Namun, saat sidang dengan agenda vonis untuk terdakwa Sugiharto dan Irman, Kamis kemarin, majelis hakim memutuskan hanya 3 anggota DPR yang terbukti menerima aliran duit hara, e-KTP.

Tiga anggota DPR yang diputuskan dapat duit e-KTP masing-maisng Miryam S Haryani (Fraksi Hanura) terbukti menerima 1,2 juta dolar AS, Markus Nari (Fraksi Golkar) menerima 400.000 dolar AS dan Rp 4 miliar, serta Ade Komarudin (Fraksi Golkar) menerima 100.000 dolar AS.

Sedangkan nama anggota DPR 2009-2014 yang semula disebut dalam tuntutan JPU, namun menghilang dalam vonis majelis hakim, antara lain, Anas Urbaningrum (Fraksi Demokrat/semua disebnut terima 5,5 juta dolar AS), Melcias Marchus Mekeng (Gokar/semula disebut terima 1,4 juta dolar AS),  Mirwan Amir (Demokrat/semula disebut dapat 1,2 juta dolar AS), Arief Wibowo (PDIP/semula disebut dapat 108.000 dolar AS), Chaeruman Harahap (Golkar/semula disebut dapat 584.000 dolar AS dan Rp 26 miliar), Ganjar Pranowo (PDIP/semula disebut dapat 520.000 dolar AS), dan Agun Gunandjar Sudarsa (Golkar/semula disebut terima 1,047 juta dolar AS).

Selain itu, Setya Novanto yang mantan Ketua Fraksi Golkar DPR 2009-2014 juga disebut sebagai kunci anggaran e-KTP. Anggota majelis hakim, Emilia Djaja Subagja, menyatakan terdakwa Sugiharto dan Irman sempat menemui Setya Novanto. Pertemuan itu dilakukan bersama terdakwa lainnya, Andi Narogong.

Awal perkenalan Irman, yang saat itu menjabat Dirjen Dukcapil Kemendagri, dengan Andi Narogong terjadi selepas bertemu Ketua Komisi II DPR (waktu itu) Burhanudin Napitupulu. Saat itu, Irman menggelar rapat bersama Komisi II DPR dan membahas e-KTP.

"Menimbang bahwa pembahasan itu, terdakwa I dipanggil oleh Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu. Pada waktu itu, terdakwa menjelaskan manfaat e-KTP. Atas hal itu, Burhanudin Napitupulu menyatakan mendukung program itu, lalu mengatakan 'saya di sini bukan kepala, saya ketua, untuk mengajak teman-teman perlu perhatian',” ujar hakim Emilia saat membacakan analisa yuridis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis kemarin.

“Terdakwa Irman langsung menangkap kata-kata 'perlu perhatian' adalah perlu uang untuk teman-teman di Komisi II DPR. Kemudian, terdakwa Irman langsung mengatakan 'kalau soal uang Pak Burnap, saya sebetulnya tidak sanggup, saya tidak mau ikut-ikut masalah uang'. Dijawab Burhanudin 'jangan salah paham dulu, saya tidak akan membebani Pak Irman, mengenai hal-hal demikian saya setuju dengan Pak Irman untuk bekerja fokus untuk e-KTP, untuk yang saya sampaikan tadi orangnya sudah ada, namanya Andi'," lanjut Emilia.

Setelah itu, Irman juga sempat berkomunikasi dengan Sekjen Kemendagri (kala itu) Diah Anggraeni. Waktu itu, Diah menyebut beberapa hari lagi Irman akan ditemui Andi Narogong. Kemudian, Irman dan Sugiharto bertemu dengan Andi Narogong di ruang kerjanya Irman. Saat itu, menurut Irman, Andi menyampaikan kunci anggaran untuk e-KTP ada di tangan Setya Novanto.

"Untuk dipertemukan dengan Setya Novanto di mana menurut Irman saat itu, Andi mengatakan bahwa kunci anggaran ada pada Setya Novanto," beber Emilia. Dia menambahkan, Irman, Sugiharto, Andi, dan Diah sampai dua kali bertemu dengan Novanto. Pertemuan pertama berlangsung di Gran Melia, sementara yang kedua di Ruang Ketua Fraksi Golkar DPR.

Ketika pertemuan di ruang Ketua Fraksi Golkar DPR itulah, kata Emilia, Andi sempat menanyakan kepastian dukungan Novanto agar Irman bisa mulai bekerja. Saat itu, Novanto menjawab segala sesuatunya sedang dikoordinasikan. "Novanto menya-mpaikan dukungan proyek e-KTP, di Ruang Kerja Ketua Fraksi Golkar, 'Ini sedang kita koordinasikan'," tandas hakim Emilia.

Sementara, pertimbangan hakim soal Novanto jadi kunci anggaran e-KTP dianggap sangat penting, meskipun tidak disebut terang benderang terkait aliran duit ke Ketua Umum DPP Golkar. "Tapi, jelas ada pihak lain yang mewujudkan tindak pidana ko-rupsi. Fakta-fakta ada pertemuan dengan Setya Novanto, dan kemudian tanggapan Setya Novanto, itu dijelaskan," kata jaksa Irene Putri dilansir derukcom seusai persidangan vonis terdakwa Sugiharto dan Irman di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis kemarin.

Menurut jaksa Irene, ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi dalam putusan hakim. Meski daftar pihak yang terbukti menerima tidak sebanyak dalam surat dakwaan, namun hakim meyakini telah terjadi korupsi dan kolusi sejak penganggaran e-KTP. "Saya mau comment ada dua fakta penting dari putusan itu. Pertama, hakim sudah menyatakan keyakinannya bahwa ada proses korupsi dan kolusi sejak penganggaran," ujar jaksa Irene.

"Kedua, dalam pertimbangannya kemudian, hakim juga menyampaikan bahwa selain orang-orang yang kita dakwakan bersama-sama, diyakini ada pihak-pihak lain yang berperan dalam mewujudkan tindak pidana korupsi sejak penganggaran itu," lanjut Irene.

Sementara itu, terdakwa Irman dan Sugiharto masing-masing divonis 7 tahun dan 5 tahun penjara terkait kasus korupsi proyek e-KTP. Selain itu, terdakwa Irman diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, sementara Sugiharto wajib bayar denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Kedua terdakwa dinilai terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan e-KTP. "Mengadili, menyatakan kedua terdakwa Irman dan Sugiharto telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama," ujar Ketua Majelis Hakim, Jhon Halasan Butarbutar, saat membaca amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai perbuatan Irman dan Sugiharto tidak mendukung program pemerintah dan masyarakat dalam memberantas korupsi. Akibat perbuatan terdakwa yang bersikap masif menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional, kerugian negara yang ditimbulkannya cukup besar, tembus Rp 2,3 triliun. *

Komentar