nusabali

Tugas di Daerah Terpencil, Kerap Harus Bermalam di Tengah Hutan

  • www.nusabali.com-tugas-di-daerah-terpencil-kerap-harus-bermalam-di-tengah-hutan

Meski digaji Rp 10 juta sebulan, Gusti Ayu Candra Dewi sering kekurangan uang karena mahalnya bahan kebutuhan hidup di Kecama-tan Seimenggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Bahkan, berat badannya sampai anjlok 8 kg

Gusti Ayu Putu Candra Dewi SFarm Apt, Apoteker Nusantara Sehat Satu-satunya asal Bali


GIANYAR, NusaBali
Kementerian Kesehatan telah melaksanakan program Nusantara Sehat, yang menempatkan tim kesehatan di daerah terpencil, perbatasan, kepulauan (DTPK). Dalam program awal periode 2015-2017, ada 1.422 tenaga kesehatan yang ditempatkan di 251 lokus puskesmas pada 91 kabupaten/kota di 28 provinsi. I Gusti Ayu Putu Candra Dewi SFarm Apt, 26, menjadi satu-satunya apoteker asal Bali dalam program tersebut. Karena bertugas di tempat terpencil, IGA Putu Candra Dewi kerap harus bermalam di tengah hutan.

Total 1.422 orang yang terpanggil ikut program Nusantara Sehat ini terdiri dari 9 jenis tenaga medis, yaitu dokter, dokter gigi, perawat, bidan, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, gizi, dan kefarmasian. IGA Putu Candra Dewi masuk tenaga medis kategori kefarmasian. Apoteker muda asal Banjar Tengkulak Tengah, Desa Kemenuh, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar ini baru saja kembali ke Bali pasca melewati berbagai tantangan di daerah penempatannya.

Kepada NusaBali, Candra Dewi mengisahkan dirinya selama 2 tahun ditempatkan di kawasan terpencil Kecamatan Seimenggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Alumnus Program Profesi Apoteker Universitas Udayana (2014-2015) ini bertugas sebagai tenaga farmasi di Puskesmas Seimenggaris.

Dalam satu timnya, Candra Dewi bertugas bersama 6 tenaga kesehatan lain yang berasal dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Dalam tim ini cuma ada satu apoteker, yakni Candra Dewi sen-diri. Selebihnya, tenaga ahli gizi, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, perawat, bidan, dan analis kesehatan.

Gadis Bali kelahiran Jayapura, 10 November 1991, ini mengaku terpanggil ikut program Nusantara Sehat untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda. Jauh dari orangtua, tidak membuatnya lemah. Sebab, sejak lahir dia sudah terbiasa tinggal di tanah rantauan Papua. Candra Dewi baru pulang ke tanah leluhur Bali ketika menem-puh kuliah Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universiats Udayana (2009-2014).

“Orangtua saya selama 28 tahun tinggal di Papua. Sebab, kebetulan Bapak jadi Ketua PHDI di sana. Baru tahun 2017 ini Bapak resmi pindah ke Bali, ditempatkan di STAH Singaraja,” jelas anak sulung dari tiga bersaudara keluarga pasangan I Gusti Made Sunartha SAg MM (PNS Kementerian Agama RI) dan I Gusti Ayu Made Lasmini SAg (PNS Guru TK Widya Kumala Jati Teges) ini saat ditemui NusaBali di kediamannya di Banjar Tengkulak Tengah, Desa Kemenuh, Kecamatan Blahbatuh, akhir pekan lalu.

Candra Dewi menceritakan, masalah pertama yang dihadapi saat awal bertugas di Puskesmas Seimenggaris adalah soal obat-obatan yang terhambur. “Obat yang dicari kadang ada, kadang nggak,” kenangnya.

Ketika pasien tidak mendapatkan obat yang semestinya, mereka harus pulang dengan tangan hampa. Padahal, jarak tempuh dari perkampungan menuju Puskesmas cukup jauh, sekitar 2-3 jam perjalanan. Kondisi tersebut membuat Candra Dewi semakin terpanggil untuk memperbaiki status kesehatan warga setempat. “Saya harus membuat manajemen obat, supaya ketersediaan obat sesuai dengan kondisi kesehatan masayarakat,” katanya.

Menurut Candra Dewi, di daerah perbatasan, biaya yang dibutuhkan untuk mencari obat cukup besar. Namun, ini justru berbanding terbalik dengan ketersediaan obat di Puskesmas Seimenggaris. “Obat selalu kosong, karena nggak ada yang ngurus,” beber Candra Dewi.

Selain masalah manajemen obat, Candra Dewi juga harus meyesuaikan diri dengan penduduk setempat. “Orang yang diajak kerja, pikirannya masih tertutup dengan inovasi. Dalam satu Puskesmas hanya ada 2 PNS, 1 tenaga honor, dan 1 tenaga sukarela. Gaji perawat cuma Rp 1,4 juta sebulan. Itu terlalu kecil dibandingkan biaya hidup di sana. Contoh, daging ayam harganya Rp 120.000 per kg. Apa-apa serba mahal,” terangnya.

Candra Dewi sendiri mendapatkan gaji Rp 10 juta sebulan selama bertugas di sana. Gaji tersebut habis untuk biaya hidup. Belum lagi kebutuhan untuk menunjang program kerja buat kegiatan preventif kesehatan masyarakat. Saking mahalnya bahan makanan, Candra Dewi mengaku sampai mengalami penurunan berat badan 8 kg. “Beberapa kali bahkan nggak makan,” cerita apoteker berusia 26 tahun ini.

Sebagai tenaga kesehatan yang bertugas untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat di Kecamatan Seimenggaris, Candra Dewi cs tidak hanya bekerja di Puskesmas. Dia juga harus berkeliling menyasar rumah-rumah penduduk untuk melakukan edukasi. Namanya di Kalimantan, keliling melewati hutan, menyusuri sungai, melintasi jalan bebatuan, sudah menjadi santapan sehari-hari.

Bahkan, Candra Dewi beberapa kali harus bermalam di tengah hutan hanya demi mengantar obat kepada pasien. “Karena untuk sampai di rumah penduduk, saya harus lewat hutan. Jaraknya cukup jauh, jadi terpaksa kami bermalam di tengah hutan, jika sampai larut malam belum juga tiba di lokasi yang dituju,” papar Candra Dewi.

Menurut Candra Dewi, dengan kondisi alam yang ekstrem seeprti itu, masyarakat setempat dominan menderita diare, gatal-gatal, infeksi saluran pernafasan akut, batuk, pilek, dan demam. “Dominan sakitnya disebabkan karena faktor lingkungan. Hampir setiap tahun tejadi Kejadian Luar Biasa (KLB) diare,” katanya.

“Bayangkan, dalam sehari bisa datang 10 pasien diare yang harus dirawat inap di Puskesmas, sementara cairan infuse hanya tersedia 20 botol untuk stok 3 bulan. Di sana pikiran kita terkuras, bagaimana bisa memenuhi obat-obatan untuk pasien. Salah satu caranya, kita harus minjam obat ke Puskesmas lain,” lanjut apoteker yang masih melajang di usia 26 tahun ini. *nvi

Komentar