nusabali

Raka Santeri Bergelar Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Waskita Sari

  • www.nusabali.com-raka-santeri-bergelar-ida-rsi-bhujangga-waisnawa-waskita-sari

Made Raka Santeri ingin menggugah pemahaman tentang nista, madya, dan utama dalam upakara di Bali. Buat dia, istilah nista yang kesannya jelek sekali, lebih cocok diganti kata sari yang berarti inti

Setelah Sang Wartawan Senior Menyelesaikan Prosesi Diksa untuk Menjadi Sulinggih


DENPASAR, NusaBali
Wartawan senior Made Raka Santeri, 76, resmi menyandang predikat sebagai sulinggih bergelar Ida Rsi Bujangga Waisnawa Waskita Sari setelah menyelesaikan prosesi diksa selama dua hari, 25-26 Mei 2017. Sedangkan sang istri, Ni Made Kenderi, kini bergelar Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Istri Waskita Sari.

Pasca menjadi sulinggih bergelar Ida Rsi Bujangga Waisnawa Waskita Sari, kediaman Made Raka Santeri di Banjar Samping Buni, Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar Barat pun berganti nama menjadi Griya Waja Sari. Acara penobatan (peresmian) Raka Santeri menjadi sulinggih secara administratif dilakukan PHDI Kota Denpasar, Jumat (26/5) pagi.

Acara penobatan yang dilaksanakan di Griya Waja Sari kemarin disambut sukacita oleh berbagai kalangan yang hadir, seperti keluarga, kolega, perwakilan dari pemerintah, masyarakat, serta jajaran PHDI. Begitu juga rekan-rekan wartawan banyak yang hadir untuk menyaksikan peristiwa bersejarah ini.

Raka Santeri adalah wartawan senior ketiga dari Bali yang memilih jalan menjadi sulinggih di masa tuanya, setelah Putu Setia (wartawan senior Tempo yang kini bergelar Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda) dan I Gusti Bagus Sudiatmaka Sugriwa (wartawan RRI Denpasar). Saat acara penobatan Raka Santeri sebagai sulinggih kemarin, I Gusti Bagus Sudiatmaka Sugriwa juga hadir.

Proses cukup panjang telah dilalui Raka Santeri untuk menjadi sulinggih. Setelah mendaftarkan diri secara administasi di PHDI Kota Denpasar, wartawan senior berusia 76 tahun ini melewati prosesi diksa pariksa yang merupakan prosesi awal sebelum dinobatkan menjadi sulinggih, 23 April 2017 lalu. Tujuan diksa pariksa itu, untuk mempertegas kembali kesiapan mental, jasmani, dan materi dalam menjalankan tingkat spiritual yang lebih tinggi.

Selanjutnya, Kamis (25/5) malam pukul 22.00 Wita hingga Jumat dinihari pukul 03.00 Wita Raka Santeri dan istri menjalani prosesi ‘nyeda raga’. Prosesi ini merupakan proses mematikan semua rasa yang dilakukan oleh nabenya.

“Nyeda raga ini dalam pengertian seolah-olah meninggal untuk meninggalkan pikiran duniawi. Maksudnya, selama ini saat kita lebih mengutamakan kepentingan materi termasuk kepentingan badan, kini menjadi kepentiingan rohani dan jiwa,” ungkap Raka Santeri yang kini bergelar Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Waskita Sari, Jumat kemarin.

Ada pun yang menjadi guru nabe bagi Raka Santeri dalam prosesi ‘nyeda raga’ adalah Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Oka Widnyana (dari Griya Ubung, Denpasar) menggantikan guru nabe sebelumnya yakni Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Istri Netri (dari Griya Babut, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Tabanan) yang kini sedang sakit. Sementara Guru Waktra adalah Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Sri Satya Jyoti (dari Griya Bhuwana Dharma Santi, Sesetan, Denpasar Selatan). Seda-ngkan Guru Saksi adalah Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kerta Bhuwana (dari Griya Batur Murti, Gelogor, Denpasar Selatan).

Setelah prosesi nyeda raga, selanjutnya dinihari kemarin Raka Santeri menjalani upacara diksa (dwijati) yang bermakna kelahiran kedua kali secara rohani. “Tadi (dinihari kemarin) sekitar pukul 04.00 Wita, kami dimandikan di depan sanggar surya. Setelah bersih, kami dibawa ke merajan untuk upacara diksa. Pelaksanaan diksa selesai tepat pagi pukul 06.00 Wita. Dengan demikian, saya sudah menapak dari wartawan menjadi seorang rsi pendeta,” ujar Raka Santeri usai ramah tamah dengan undangan kemarin.

Raka Santeri mengatakan, setelah diresmikan menjadi sulinggih, dia akan terus berkiprah dalam menulis. Tentu tulisannya nanti akan lebih mengarah pada pendekatan agama. Menurut Raka Santeri, ini merupakan satu bentuk pengabdian untuk membangun kesadaran umat.

“Karena saya punya kemampuan tulis menulis, maka sarana yang akan saya pakai mengabdi adalah dari tulisan. Tapi tidak hanya dalam bentuk itu saja, apabila bertemu dengan masyarakat secara langsung melakukanpengabdian berupa wacana dan diskusi,” jelas sulinggih kelahiran 21 Juli 1941 ini.

Bahkan, dia berniat melanjutkan tesisnya yang mengungkap persamaan-persamaan Hindu dan Islam, khususnya di Pulau Dewata. Bahan tesisnya itu akan ditambah dengan data-data yang faktual di lapangan, sehingga isinya akan actual dan relevan digunakan di masa kini.

Termasuk bukunya yang dibagikan kemarin (terbit tahun 2000), salah satunya tentang Tuhan dan Berhala, dinilai masih relevan karena isinya berisi ajakan dan imbauan keharmonisan antar umat beragama. Sesuatu yang sangat dibutuhkan kala situasi dan kondisi bangsa sedang mengalami ancaman radikalisme, terorisme, dan rasisme.

“Saya berniat menulis kembali tesis yang saya buat tahun 2006 itu, tentang persamaan Hindu dan Islam khususnya di Bali, saya mengambil lokasi di Desa Kepaon (Denpasar Selatan). Cuma, nanti saya perluas lagi dengan data-data yang lebih akurat, keadaan-keadaan yang factual dan actual,” katanya.

Terkait kewajiban sebagai sulinggih, Raka Santeri mengaku akan memprioritaskan ngewiku raga dan ngewiku acarya. Ngewiku raga yaitu menjadi sulinggih berkewajiban terus menyucikan diri sendiri. Sedangkan ngewiku acarya yakni sulinggih yang nantinya ikut mencerahkan umat. Sementara ngewiku loka pala sraya atau muput karya akan menjadi priorotasnya yang terakhir.

“Saya percaya ada yang akan membimbing. Karena dulu di sini konon ada seorang Rsi pada abad ke-17 (tahun 1680) menginginkan ada lagi Rsi di sini. Beliau pasti akan membimbing saya ke arah sana, karena keterbatasan saya dalam menghafal Weda. Lambat laun pasti bisa, meski tidak muput keluar, misalnya untuk keluarga saja. Tapi, saya tetap belajar,” jelas ayah tiga anak ini.

Raka Santeri juga mengaku bakal melakukan sejumlah pelayanan umat berupa pencerahan di wilayah luar Bali, bersama yayasan milik adiknya, Yayasan Mustika Raung, yang merangkul umat Hindu di daerah Banyuwangi (Jawa Timur), sekitar Gunung Raung dan dan Tengger. “Barangkali pencerahan tidak secara massal. Misalnya, mengunjungi beberapa keluarga, beberapa kelompok umat di luar Bali, menggugah kesadaran mereka agar beragama sesuai budayanya, jangan meniru Bali. Upacaara-upacaranya lebih disederhanakan,” tegas wartawan senior yang pensiun dari Kompas tahun 1998 ini.

Raka Santeri juga ingin menggugah pemahaman tentang nista, madya, dan utama dalam upakara di Bali. Menurut dia, kata Nista lebih cocok diganti dengan kata sari. “Kata nista ingin saya ubah menjadi sari. Sari berarti inti. Kalau pakai kata nista, sepertinya jelek sekali. Karena bukan upacaranya yang penting, tapi keikhlasan kita yang menghaturkan. Sehingga, masyarakat jadi mau menyadari pemahaman ini. Mungkin nanti saya agak radikal tentang hal ini. *in

Komentar