nusabali

Ngelawar Capung

  • www.nusabali.com-ngelawar-capung

Capung  kini sulit sekali dicari. Mereka yang berusia sepuluh tahun tinggal di pedesaan pun, kini sangat jarang berjumpa capung. Mereka yang di kota apalagi, nyaris sekarang tak pernah melihat capung.

Aryantha Soethama


Pengarang


Anak-anak sekolahan di kota hanya mengenal capung lewat gambar-gambar nan indah. Ada capung hijau, ada yang merah menyala, matanya terbelalak besar. Ada capung kecil, kurus, ramping, oleh orang Bali disebut capung celekitikan.

Banyak anak kota yang menduga capung masih satu keluarga dengan kupu-kupu, cuma kupu-kupu jauh lebih indah, lebih berwarna-warni. Padahal mereka berbeda. Kupu-kupu dari ulat yang lama tinggal dalam kepompong. Kalau capung dari binatang sawah mengalami metamorfosa, hidup tersebar luas, di hutan-hutan, kebun, sungai, dan danau, hingga ke pekarangan rumah dan lingkungan perkotaan. Binatang ini bisa dijumpai dari tepi pantai hingga ketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut.

Capung ada di perkotaan dan di dusun, di gunung-gunung. Para pendaki gunung, bisa jadi bersua capung di pagar rumah ketika berangkat mendaki, dan menemuinya kembali di lereng gunung, di antara rimbunan semak dan perdu. Karena capung hidup dengan air, mereka ada di mana terhampar sawah. Di kota, karena sawah habis berganti rumah, itu sebabnya tidak lagi ada capung di kota.

Anak-anak senang sekali dengan capung. Dulu, menangkap capung dengan tangan menjadi ciri kehebatan seorang anak bergerak diam-diam. Si anak akan mengendap-endap mendatangi capung yang sedang hinggap di ujung daun, tak berisik sedikit pun, seperti ninja mendekati mangsa siap menyabetkan belati ke leher korban. Lalu, hup, capung tertangkap. Yang dipegang adalah bagian ujung ekor capung, menjepitnya dengan telunjuk dan ibu jari.

Dulu, di batas kota yang masih ditandai dengan sawah terhampar luas, capung-capung besar di sore hari sering terbang berputar-putar bergerombol banyak. Tentu tak mungkin ditangkap satu per satu dengan tangan. Biasanya anak-anak membuat galah diisi getah, lalu digoyang-goyang di antara capung bergerombol itu. Wah, banyak yang lengket ke getah jepun atau getah nangka di ujung galah. Agar lebih mudah dan gampang dapat banyak dalam tempo singkat, di ujung galah diikatkan lidi-lidi menyerupai jari tangan. Capung-capung itu akan lengket di lidi-lidi bergetah itu.

Ada capung yang hinggap di ujung daun sulit didekati. Gesekan kaki sangat halus pun membuatnya terbang. Anak-anak akan menggunakan sebatang kayu, di ujungnya ditancapkan lidi dililit getah buah nangka untuk menangkapnya. Itu pun membutuhkan kesabaran dan kepiawaian. Anak-anak ini senang menangkap capung karena menegangkan dan mengasyikkan. Tapi itu zaman dulu, berpuluh tahun silam, hampir setengah abad lampau.

Anak-anak berkeliling sawah memburu capung, lalu jika capung terjerat getah di ujung tongkat, akan ditusuk dengan lidi, seperti ikan-ikan yang berhasil dipancing. Lidi menusuk capung atau ikan itu oleh orang Bali disebut suluhan. Ini tidak ada hubungannya dengan suluh atau lentera. Ketika senja anak-anak pulang dan capung-capung itu siap dijadikan lauk. Biasanya dicampur telengis dan dipepes. Dulu banyak bisa dijumpai pepes (pesan) telengis berisi capung dan kelor. Banyak dijual pedagang makanan ketika sore, di depan rumah atau dekat balai banjar.

Telengis adalah bagian kental (endapan) yang didapat ketika membuat minyak dari kelapa. Proses membuat minyak kelapa menghasilkan minyak tandusan. Dulu membuat minyak kelapa adalah bisnis industri rumah tangga, sehingga banyak sekali ada telengis. Banyak pesan telengis yang dicampur cuweng (binatang sawah yang bermetamorfosa jadi capung). Rasanya enak sekali. Mereka yang hidup sebelum 1980-an pasti akrab dengan pesan telengis capung atau cuweng. Sejak dikenal minyak sawit curah, industri minyak rumahan ini tergusur. Dan lenyap pula pesan telengis.

Orang Bali dulu memang akrab sekali dengan capung, sampai muncul istilah ngelawar capung. Istilah ini unik, karena mana mungkin orang ngelawar capung? Yang dijadikan lawar diadon dengan sayur nangka, kacang panjang, daun belimbing, adalah daging babi atau sapi dan ayam. Kalau capung yang bersayap itu, mana mungkin buat lawar. Tapi mengapa ada istilah lawar capung?

Misalnya ada sepuluh orang makelar tanah berhasil menjual satu are tanah. Mereka dapat komisi tak lebih dari sejuta. Kendati sejuta, tentu harus dibagi adil bersepuluh. Kalau tidak mereka akan baku hantam. Para penerima komisi masing-masing seratus ribu akan berkelakar, “Wah, seperti ngelawar capung saja kita ya?” Artinya kerjanya rame-rame, berjuang keras, lama, hasilnya kecil, heboh, ujung-ujungnya dapat bagian sedikit. “Tapi kita senang kan meski dapat sedikit? Yang penting halal. Hahaha!” komentar mereka.

Ngelawar capung bisa berarti sekelompok orang yang melakukan kegiatan tidak efektif. Kelihatannya wah, hebat, tapi sesungguhnya hasilnya sangat kecil, nyaris nihil. *

Komentar